Quantcast
Channel: Didin Abidin Mas'ud, Author at SWA.co.id
Viewing all 8373 articles
Browse latest View live

Maria & Mario Hidayat Jejak Generasi Penerus Sidomuncul

$
0
0

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah itu pas buat Mario Arnaz Hidayat (34 tahun) dan kakaknya Maria Hidayat (36 tahun). Karena orang tuanya, Irwan Hidayat dan Sinta Hidayat, merupakan pengusaha kawakan, maka tak aneh jika sang anak, Maria dan Mario Hidayat mengikuti jejak orang tuanya: terjun ke bisnis. Jika sang ayah dikenal sebagai maestro jamu, dengan merek yang melegenda, Sidomuncul, Mario lebih memilih berkonsentrasi ke bisnis properti. Sementara Maria menekuni pekerjaannya di Sidomuncul hingga kini.

Mario Arnaz Hidayat

Mario Arnaz Hidayat

Grup Sidomuncul adalah perusahaan keluarga dan induk usaha yang menaungi beragam bisnis. Selain industri jamu yang sudah tenar itu, sayap bisnis Sidomuncul terentang mulai dari properti, percetakan, keuangan, hingga distribusi. Nah, di bisnis properti, Grup Sidomuncul kini tengah membangun hotel di Yogyakarta, bernama Hotel Tentrem. Di proyek hotel itu, Mario ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek.

Setelah menamatkan pendidikan bisnis di Iowa State University, Amerika Serikat, pada 2002, Mario langsung terjun ke bisnis keluarga, dengan bekerja di Sidomuncul. Sebenarnya, Mario semula enggan langsung masuk ke Sidomuncul. Ia ingin menjajal bisnis lain lebih dulu. Toh, pihak keluarga tidak mengizinkan, maka jadilah Mario sebagai karyawan di Sidomuncul.

Pada masa awal bergabung dengan Sidomuncul, Mario masuk ke Bagian Pemasaran. “Tanggung jawabnya tidak besar. Lebih banyak diminta untuk belajar dulu dari staf yang senior. Lalu, keliling berbagai kota untuk belajar distribusi, mengenal profil para peminum jamu, pedagang jamu, keliling pasar tradisional bertemu dengan para distributor, agen, pedagang,” papar Mario. Ia juga belajar strategi pemasaran dan proses pembuatan iklan.

Mario pernah pula diterjunkan ke pabrik jamu untuk mengetahui proses produksi, mengenali keterbatasan dan sekaligus kelebihan yang dimiliki, mengetahui pemasok bahan baku dan material.

Begitulah, Sidomuncul menjadi laboratorium tempat Mario ditempa dalam manajemen bisnis keluarga. Di sana, ia melihat, mempelajari, menganalisis, meniru, dan menjalankan yang menurutnya betul. “Saya juga memodifikasi yang menurut saya perlu diubah. Tidak semua yang menurut saya benar ternyata benar, sering juga saya salah. Ada orang bilang bahwa kami bisa belajar dari pengalaman orang lain, dan tidak perlu mengalami sendiri. Ya, memang betul, tapi tidak semudah itu menjalankannya. Kadang kami punya sifat keras kepala dan tidak percaya sebelum menjalaninya sendiri,” tuturnya panjang lebar.

Maria Hidayat

Maria Hidayat

Sejak dua tahun terakhir, Mario melepas semua pekerjaannya di Sidomuncul, dan memilih total terjun ke pembangunan hotel. Di hotel itu, peran Mario cukup menonjol. “Saya memimpin semuanya. Di sini kan banyak tim. Ada konsultan arsitek, interior, lighting, struktur, dan puluhan kontraktor yang terlibat. Saya yang mengoordinasikan semuanya dan saya yang membuat keputusan di lapangan agar semuanya bisa berjalan,” ujar Mario.

Pembangunan Hotel Tentrem kini hampir rampung, sudah mencapai 95%. Berdiri di atas lahan seluas 13 ribu m2 berlokasi di Jl. A.M. Sangaji, kawasan Tugu, Yogya, Hotel Tentrem diperkirakan akan mulai menerima tamu pada Desember mendatang.

Hotel berbintang lima yang menelan investasi sekitar Rp 200 miliar itu, memiliki 276 kamar, yang dilengkapi ballroom yang bisa menampung 2.500 undangan, dengan basement yang mampu menampung parkir 500 mobil. “Kami akan fokus pada hotel konvensi, serta meeting, incentive, convention and exhibition (MICE),”kata Mario.

Menurut Mario, pemilihan nama Tentrem tak lepas dari filosofi ayahnya, Irwan Hidayat, yang selalu mengajarkan agar anak dan para keponakannya selalu rukun, harmonis, damai, dan tidak pernah berantem. Salah satu makna Tentrem adalah ketenangan jiwa. “Jadi, dengan kata tentrem itu, kami ingin memberikan ketenangan kepada setiap tamu yang menginap di Hotel Tentrem,” ucap Mario.

Rencana ekspansi ke depan sudah dipetakan. Kelak, Hotel Tentrem juga akan berdiri di Bali dan Semarang. Kedunya sedang dalam tahap desain. “Belum dibangun, tapi sudah mulai dirancang.”

Didin Abidin Masud & Gustyanita Pratiwi

 

The post Maria & Mario Hidayat Jejak Generasi Penerus Sidomuncul appeared first on Majalah SWA Online.


Ardistia: Menundukkan Industri Fashion dari New York

$
0
0

Taklukkan New York, maka dunia akan bertekuk lutut. Agaknya, langkah itu yang ditempuh perancang mode Ardistia Dwiasri. Perempuan berambut pendek kelahiran Jakarta 1979 ini mendobrak pasar mode New York lewat label Ardistia New York pada 2007. Kini, setelah sekitar lima tahun, busana rancangan Ardistia bisa ditemukan di berbagai butik kelas atas di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, label Ardistia New York bisa ditemukan di Kalifornia (Beeline, Vacci, Los Angeles); Kolorado (Ella Bleu-Greenwood Village); Florida (Cinema Clothing-Miami); Georgia (Merino, Atlanta, Mint Boutique, Savannah); Illinois (Akira, Uri Boutique-Chicago); Kentucky (Blink, The Peacock Boutique-Louisville); Massachusetts (Turtle-Boston, Stash-Newton, Solo Flight Inc-Lenox, Dress Code-Androver).

Ardistia DwiasriDi Kanada, busana rancangan Ardistia hadir di Azul Cuture (Calgari), Blush (Vancouver), Luz Label (Winnipeg). Di Prancis: Le Chiox De Bea (Tours), By Flowers (Notre Dame). Di Jepang: Ginza Maggy dan Vivier Shibuya (Tokyo). Di Korea bisa diperoleh di Soho Look (Seoul), dan di Turki tersedia di Yurt & Kumas (Istanbul). Di Indonesia sendiri, Ardistia New York baru masuk tahun 2011 lewat pergelaran busana koleksi 2011-2012 Relaxed Elegance, di perhelatan fashionStyle Soiree yang diinisiasi InStyle Indonesia.

Pergelaran busana perdana Ardistia New York untuk publik Jakarta berlangsung meriah dan menyegarkan. Ini terutama karena koleksi busana siap pakai Ardistia New York yang tampil dengan warna cerah, memberikan kesan mewah, elegan dengan kesederhanaan desain.

Ardistia adalah lulusan S-1 Jurusan Teknik Industri Northeastern University, Boston. Ia kemudian melanjutkan studi S-2-nya di Sains Manajemen Enjiniring dengan konsentrasi Sistem Manufakturing, di universitas yang sama. Kiblatnya kini beralih ke dunia fashion yang sehati dengan hobinya sejak bocah. Berawal dari senang membuat sketsa, Disti – sapaan akrabnya – akhirnya serius mengambil pendidikan desain fashion di Parsons The New School for Design, New York.

Setelah menamatkan pendidikan desain pada 2003, Disti bergabung dengan berbagai rumah mode terkemuka di New York, seperti Dianne Von Furstenberg, di sini sebagai asisten desainer, Disti membantu dalam pembuatan sampel hingga penyiapan pergelaran busana Spring/Summer 2004. Disti juga sempat menjadi tenaga freelance di rumah mode GAP Inc. dan Taylor, sebelum bekerja sebagai teknikal desainer di Tommy Hilfiger.


Pengalaman bekerja di rumah-rumah mode terkemuka itu dijadikan modal oleh Disti untuk mengirimkan sekitar 300 resume ke berbagai rumah mode dan merek
ternama. Hasilnya cukup melegakan. “Mereka cukup welcome, kami memang harus lebih aktif,” katanya. Disti pun kian bersemangat, dan mulai ancang-ancang untuk mengembangkan bisnis mode secara profesional. Ia mulai membuatperencanaan bisnisdan berjuang keras selama hampir 8 bulan. Tahun 2007, label Ardistia New York resmi berdiri dengan berkantor di 280 Park Avenue S Suite 9E, New York.

Koleksi pertamanya adalah mantel dan coat untuk edisi fall/winter 2007, yang mendapat respons positif dari para penggemar mode. Setelah sukses itu, ia pun keranjingan mengikuti trade show dan beberapa kaliterlibat dalam fashion week di New York. Tujuannya, tak lain untuk mencari pelanggan baru di dunia internasional.

Responsnya semakin bagus karena busana Ardistia dikenal chic, timeless, modern dan versatile. Konstruksi yang detail dan material berkualitas tinggi menjadi kekuatan utama desainnya. Ia banyak bermain di sutra, crepe dan stretch tekno. Teknik potongan yang ia kuasai bersifat geometris tetapi memiliki sentuhan romantis dan playful sehingga busana rancangannya nampak elegan, abadi, dan terkesan “sepanjang zaman”.

Lewat label Ardista New York, Disti pun kemudian menyabet pemenang Biore/Gen Art Fashion Award pada Oktober 2007, menjadi profil di WWD pada April 2007 untuk kategori New Designer to Watch dan menerima penghargaan Ready to Wear nomination from Gen Art Styles per Mei 2007. Koleksi Ardista New York pun telah menjadi bahan tulisan di berbagai majalah mode terkemuka, seperti Vogue, Elle, Harper’s Bazaar, Lucky, WWD, New York Times, Daily Candy, Cosmopolitan, Style.com dan ABC TV Network.

Kini omset label Ardistia New York, yang diperkuat sekitar 15 karyawan, mencapai sekitar US$ 1 juta. Di Indonesia, Disti membuka showroom di The Capital, Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Tower 25B. Anda bisa menemukan koleksi siap pakai Ardistia New York di portal belanja fashion Zalora. Harganya mulai dari Rp 995.000 (celana pendek perempuan) hingga Rp 2.995.000 (busana perempuan).

 

The post Ardistia: Menundukkan Industri Fashion dari New York appeared first on Majalah SWA Online.

Harijanto Setiawan: Berkibar di Singapura sebagai Desainer Floral

$
0
0
Harijanto Setiawan

Harijanto Setiawan (kanan)

Katakan dengan bunga! Lewat “bahasa” bunga, terbuka jalur lebar untuk bertemu dan mengenal orang-orang tenar di dunia. Itulah yang dilakukan Harijanto Setiawan (50 tahun), kelahiran Jawa Tengah yang menamatkan pendidikan Arsitektur dan meraih gelar Master Real Estate dari University of New South Wales, Australia.

Setelah menamatkan pendidikan, Harijanto sempat berkarier di perusahan arsitektur selama 8 tahun. Namun, kecintaannya yang mendalam pada bunga sejak bocah, akhirnya membuat ia banting setir. Sejak 2002, Harijanto mendirikan Flower Design of Boenga (FDB), yang berkantor di lantai tiga Harding Road Penthouse Level 40C, Singapura.

Ketika masih bekerja di perusahaan arsitektur, jiwa Harijanto selalu gelisah, selalu ingin “bercengkerama” dengan bunga. “Bunga selalu menyimpan  kepentingan pribadi dan ada gairah tersendiri di sana. Jadi, saya pikir saya bisa membuat bisnis berdasarkan minat saya sendiri. Saya ingin menikmati pekerjaan dan melakukan hal yang saya sukai,” ungkapnya.

Langkah Harijanto tidak percuma, dalam waktu cepat ia dikenal sebagai jagoan perbungaan di Singapura. Harijanto pun menjelma sebagai desainer floral terkemuka di negeri jiran itu. Banyak klien kelas atas yang memercayakan pesta atau event yang diselenggarakannya dengan sentuhan bunga hasil desain Harijanto. Salah satunya adalah pesta perayaan putri seorang konglomerat Indonesia yang baru berusia satu bulan.

Pesta yang digelar di hotel mewah Capella, Singapura, dengan mengundang 300 tamu tersebut memakan biaya Rp 7,6 miliar. Biaya itu khusus untuk dekorasinya saja.  Ballroom Hotel Capella pun disulapnya menjadi sebuah taman hiburan mewah, lengkap dengan komedi putar dan hutan buatan.

Untuk mendekorasi pesta putri konglomerat itu, seluruh peralatan dan properti yang digunakan diproduksi di Indonesia dan diterbangkan khusus ke Singapura sekitar tiga minggu sebelum pesta digelar. Menurut Harijanto, timnya merumuskan konsep pesta tersebut selama 6 minggu sebelum acara digelar. Adapun bunga yang dipergunakan didatangkan dari berbagai negara, seperti Belanda, Selandia Baru, Afrika, dan kawasan Asia sendiri. Jenis bunga yang banyak dipergunakan adalah Gloriosa Lily, Calla Lily, Viburnum Snowball, Holland Roses, Cymbidium, Phalaenopsis, tulip, dll.

Sebagai perusahaan desain floral terkemuka di Singapura, FDB merambah pasar di seluruh penjuru dunia, mulai dari Vietnam, Singapura, Indonesia,  Malaysia, India, Jepang, Vietnam, Thailand, Afrika, Monako, Spanyol hingga Inggris. FDB membidik pesta tematis dan resepsi pernikahan kalangan atas dalam desain bunganya. “Saya menggarap semua hal yang berhubungan dengan perbungaan: dekorasi, konsultasi desain dan gaya untuk pesta privat, pernikahan, hotel dan event,” tutur penyuka jalan-jalan yang hingga kini masih lajang itu.

Dan kini, diperkuat oleh 20 karyawan yang bekerja secara penuh dan 40 karyawan lain secara paruh waktu, rata-rata setiap bulan FDB menangani 10 acara kecil dan empat acara besar. Tarif desain hiasan bunga untuk acara kecil berkisar Rp 50-500 juta, sedangkan acara besar di atas Rp 500 juta.

Untuk dekorasi di luar negeri minimum US$ 200 ribu, pesta privat minimum US$ 5 ribu, konsultasi hotel baru dan club image US$ 50 ribu. “Sedangkan untuk megawedding minimum 5 ribu orang party, konsultasi bunga US$ 100 ribu, tidak termasuk bahan,” kata Harijanto.

Menurut anak pasangan mendiang Sutjahja Setiawan dan Iswanti ini, pengalaman paling mengesankan ketika menggarap desain dekorasi yang amat wah di India. Harijanto menggarap desain dekorasi untuk pesta pernikahan anak konglomerat India, yang mengundang 8 ribu tamu selama empat hari tiga malam berturut-turut. “Setiap hari berganti dekorasi. Semua bahan dan material diimpor dari berbagai negara. Dalam proyek ini saya merekrut hampir  200 florist di India,” tuturnya.

Harijanto, lewat  FDB-nya, menjadi buah bibir dalam dekorasi bunga. Hal itu terjadi karena ia selalu menjaga kualitas desain yang selalu eksklusif untuk setiap klien yang dilayani. Harijanto bertekad untuk terus berkiprah di bisnis desain bunga, dengan selalu menciptakan kreasi baru, dan menjadi trend-setter di bisnis ini.

 

Didin Abidin Mas’ud & Gustyanita Pratiwi

 

The post Harijanto Setiawan: Berkibar di Singapura sebagai Desainer Floral appeared first on Majalah SWA Online.

Menjadi Desainer Gara-gara Gemar Menggambar Mobil

$
0
0

Nama Mark Yoshua Widjaja (35 tahun) tiba-tiba saja meroket di jagat bisnis otomotif nasional ketika pada pameran Indonesia International Motor Show (IIMS) 2011, mobil konsep yang dirancangnya, A-Concept, menyabet penghargaan Best of the Best (exterior, interior, detail lamp parts, color coordination, A-Concept custom font) IIMS Award.

Mark Joshua Widjaya

Mark Joshua Widjaya, mobil konsep rancangannya, A-Concept, menyabet penghargaan Best of the Best di ajang IIMS Award.

Sejatinya, desain Ayla dan Agya terinspirasi dari rancangan mobil A-Concept. Sebelum merancang Ayla dan Agya, Mark lebih dulu melakukan riset mengenai kebutuhan mobil konsumen Indonesia yang khas, hingga akhirnya sampai pada temuan: membuat konsep mobil kecil yang tidak boleh kecil, harus spaciest. Mobil murah, tetapi bukan murahan. “Karena itu, saya tidak menyebut Ayla sebagai mobil murah, tapi low cost car. Tren ini juga terjadi di Eropa di mana harga mobil diturunkan, tetapi kualitas tidak serta-merta diturunkan. “Kami membuat mobil low cost dengan desain dan kualitas yang bersaing,” kata Mark.

Untuk menekan biaya ini, Mark mengakalinya pada pemasangan lampu. Kalau lampunya besar, harganya makin tinggi. Maka, Mark pun lebih memilih mengecilkan lampu tetapi kualitasnya bagus, daripada menggunakan lampu berukuran besar dengan kualitas yang kurang.

Mark menuturkan, proses desain Ayla dan Agya, sejak mengundang pihak prinsipal hingga jadi konsep Ayla, sekitar tiga tahun. “Kemudian, kami lakukan kontes desain Ayla secara internasional dengan memanggil rumah desain di Eropa,” kata Mark. Kompetisi desain dilakukan secara valid. Para penilai (dari kalangan buyer potensial) tidak terpengaruh oleh selera lainnya selain desain, misalnya warna dibuat sama, tidak ada aksesori, semua velg sama. “Semua disamakan agar pada saat kami melakukan survei, pemilih yang berjumlah sekitar 200 akan benar-benar memilih karena bentuk, bukan karena warna atau yang lainnya,” Mark menerangkan.

Awalnya, ada banyak desainer yang mengikuti kompetisi ini. Akhirnya mengerucut hingga 6 orang yang berasal dari Jepang, Prancis, Italia dan Indonesia. Hasilnya, desain dari Indonesia mengantongi 70% suara pemilih dalam kompetisi itu. Hasil survei itu menyimpulkan, desain dari Indonesia (yang dibuat Mark Widjaja) yang akan digunakan untuk produksi massal di Indonesia. Namun, proses finalisasinya memakan waktu cukup lama karena banyak penemuan atau kejadian baru ketika tahap finalisasi. Misalnya, karena ini bukan sekadar mobil murah, melainkan low cost green car pertama Daihatsu, maka banyak ditambahkan item baru sehingga harus dilakukan adjustment.

Kini, Mark Yoshua Widjaja sudah dikenal sebagai desainer mobil andal, dan bekerja sebagai Senior Styling Designer R&D PT Astra Daihatsu Motor. Padahal, ketika masih di bangku SD, dua kali ia tidak naik kelas, yaitu di kelas dua dan empat. Ketika Mark tidak naik di kelas empat, mamanya stres berat, dan membawa Mark ke psikolog untuk mengetahui kenapa nilai-nilai Mark jeblok. Ketika konsultasi, sang psikolog mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan, Mark seorang yang superior. Lalu, mamanya bertanya mengapa nilai Mark jeblok terus. “Apa yang salah?” Psikolog itu menjawab bahwa yang salah adalah sistem pendidikan di sini, tidak ada sekolah yang cocok buat Mark.

Mark Joshua Widjaya

Mark Joshua Widjaya

Sejak bocah, Mark sudah akrab dengan gambar mobil. Ayahnya, seorang pengusaha karoseri di Surabaya, Mitra Karoseri. Mark sering memperhatikan ayahnya menggambar mobil. “Saya menggambar mobil sejak umur lima tahun,” kata Mark. Ia terpengaruh ayahnya yang memang suka gambar mobil. “Saya lakukan itu hingga sekarang. Saat itu, saya menggambar mobil ketika ayah kerja. Saya mulai menggambar dari sisi (side view). Ketika itu, saya diberi tahu ayah bahwa dalam menggambar roda harus hati-hati karena bentuknya yang lingkaran. Dia mengancam saya kalau gambar roda saya jelek. Akhirnya saya tidak berani menggambar roda dan kemudian digambarkan olehnya,” tutur Mark mengenang.

Ayahnya meninggal ketika Mark di kelas dua SD. Namun, kegemaran menggambar mobil Mark terus berlanjut. Sang ibulah yang mendukung kegemarannya menggambar mobil. Caranya, ketika ada mobil keluaran baru, ia langsung membawa Mark ke showroom mobil untuk melihat mobil itu.

Karena “kegilaannya” pada menggambar mobil itu, Mark agak melupakan pelajaran sekolah, hingga gagal naik kelas dua kali. Di jenjang SMP dan SMA, Mark menyelesaikan pendidikan “seadanya”. Asal naik kelas dan lulus. Ia kemudian melanjutkan studi ke Jurusan Desain Produk Industri, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknik Sepuluh Nopember, pada 1998. “Begitu masuk kuliah, semuanya berubah. Nilai-nilai saya bagus semua. Bahkan untuk kelas rendering, saya gambar mobil dan gambar saya tidak ada kekurangannya menurut dosen saya waktu itu,” kata Mark.

Setelah menamatkan pendidikan di ITS, Mark langsung bergabung dengan PT Daihatsu Astra Motor. Di sanalah ia mengasah keterampilannya dalam mendesain mobil. Proyek pertama yang ditanganinya adalah perubahan desain kecil pada mobil Daihatsu Zebra, yaitu di bagian depan, garnish.

Sejak itu, karier Mark terus melaju, hingga beberapa kali ditarik ke Jepang. Di sana ia menggarap dua desain Xenia Crossover dan Sporty, yang saat ini mirip dengan Avanza Velloz. “Avanza Velloz ini juga merupakan desain saya,” Mark menambahkan.

Selama dua tahun di Jepang, Mark juga mendesain banyak mobil, dan memenangi kompetisi desain mobil yang diselenggarakan. “Karena itu, total portofolio saya justru lebih banyak untuk produk di Jepang, bukan produk yang dipasarkan di Indonesia. Jadi kalau bicara Ayla, itu bukan desain pertama yang saya buat,” kata Mark lagi.

Didin Abidin Mas’ud & Denoan Rinaldi

Riset: Siti Sumariyati

The post Menjadi Desainer Gara-gara Gemar Menggambar Mobil appeared first on Majalah SWA Online.

Andry Suhaili: Membangun PriceArea Setelah Jatuh Dua Kali

$
0
0

Andry Suhaili, pendiri dan CEO PriceArea.com bukan orang yang gampang menyerah. Bahkan sebaliknya, ia begitu gigih mewujudkan mimpinya meski dua kali tersandung kegagalan. Kini, PriceArea menjelma sebagai situs mesin pencari barang dan harga terbesar di Tanah Air untuk membantu para calon pembeli menemukan penawaran barang dan harga terbaik dengan mudah, cepat dan akurat.

Andry Suhaili

Andry Suhaili

Lulusan dari Jurusan Ilmu Komputer dan Animasi Komputer California Institute of Art Los Angeles, Amerika Serikat ini, di tahun 2003 mengawali kiprahnya di dunia Internet sebagai web designer di sebuah biro iklan, kemudian beralih haluan menjadi konsultan komunikasi pemasaran. Pekerjaan itu dijalaninya hingga tahun 2008.

Jiwa wirausahanya yang menggelegak, membuatnya ingin membangun bisnis sendiri dengan mendirikan Adtorial.com (advertising dan tutorial), dengan membidik pasar komunitas dunia periklanan dan pemasaran di Indonesia.

Adtorial.com sebenarnya mendapat sambutan cukup bagus dari komunitas dunia iklan. Dengan target jelas, yakni agensi, pelaku bisnis periklanan, desainer, dll. yang terkait dengan dunia iklan. Produknya terukur dan sederhana. Hanya saja, umur Adtorial tidak lama. Pasar yang dibidik terlalu sempit, sehingga sullit untuk mengembangkannya menjadi lebih besar lagi. Adtorial pun tamat riwayatnya.

Lalu Andry mendirikan Ceklagi.com tahun 2008. Ceklagi merupakan konsep marketplace, dengan sasaran pasarnya para peritel offline di Indonesia. Ini pun hanya bertahan dua tahun, karena pada 2010 Ceklagi ditutup. Andry mengakui, ketika melahirkan Ceklagi belum paham kebutuhan para peritel saat itu, sehingga bisnis Ceklagi pun tersendat.

Dua kali gagal mendirikan usaha, tidak membuat Andry kapok. Bahkan sebaliknya, berbekal kegagalan itulah, ia ancang-ancang lagi mendirikan perusahaan baru, kali ini bernama PriceArea.com. Maka, tahun 2010, PriceArea hadir untuk melayani para pembeli yang mencari barang secara online.

Jadi, PriceArea.com adalah search engine seperti Google, tetapi fokus pada memberikan informasi untuk para visitor atau calon pembeli yang mencari harga dan produk terbaik. “Ini merupakan platform yang membantu mencarikan barang bagi pembeli melalui toko online di seluruh Indonesia. Solusi untuk yang cari barang yang lebih cepat,” ujar Andry.

Bisa dibilang, PriceArea merupakan penyempurnaan dari Ceklagi. Bedanya, Ceklagi fokus untukoffline merchant, PriceArea lebih tertuju pada pengelolaan online merchant.

Kami fokus memberikan informasi lengkap, jadi PriceArea.com tidak pernah membandingkan harga, karena pada umumnya orang Indonesia tidak suka dibanding-bandingkan. Tapi, lebih pada mendukung pencarian harga dan produk terbarik serta paling aktual,” ia memaparkan.

Adakah benchmark di luar negeri? Andry menjawab, Google salah satu benchmark terbesar. Menurutnya, di Amerika Serikat bisnis sejenis PriceArea salah satu yang terbesar, begitu pula di Jepang.

Saat ini PriceArea telah didukung beberapa pemodal ventura dari luar negeri seperti East Venture, Gree (media sosial di Jepang), So-net (anak usaha Sony Entertainment). “East Venture masuk dua tahun lalu, Gree dan So-net empat bulan lalu. Mereka mendukung dalam dua hal, investasi finansial dan investasi strategis,” kata Andry lagi.

Andry Suhaili

~.~

Dari mana pendapatannya? “Kami bertumpu pada iklan dan merchant yang beriklan. Saat ini kami fokus pada akuisisi user,” ujarnya. Saat ini penetrasi PriceArea sekitar 20%, tumbuh luar biasa. Untuk pertumbuhan user dan member saja, disebut Andry hingga 200% dalam tiga bulan terakhir.

Seperti halnya mesin pencari raksasa Google, dalam operasionalnya PriceArea mangadopsi sistem pencarian dengan metode clustering, yang membuat kategori produk hingga paling spesifik dalam struktur taksonomi data. Metode ini memudahkan pengguna untuk mendapatkan produk dengan harga yang diinginkan. “Kami juga punya PriceArea analytic, sehingga merchant bisa melihat berapa banyak visitor yang ngeklik produk mereka, keyword yang paling populer, tool yang bisa optimasi jualan merchant,” ujarnya

Dan PriceArea bagi pengunjung, sangat membantu untuk mencari barang lebih gampang. “Ke depan, kami akan fokus di search engine saja, tidak akan masuk ke logistik, transaksi, atau payment,” katanya tegas.

Tahun 2015, PriceArea diharapkan sudah merambah Asia Tenggara. Untuk mewujudkan mimpinya itu, Andry sudah menerobos ke Singapura, antara lain, membeli domain dan mengatur crawler untuk menjangkau toko-toko online di negara tetangga itu.

Didin Abidin Mas’ud & Herning Banirestu

Riset: Sarah Ratna

The post Andry Suhaili: Membangun PriceArea Setelah Jatuh Dua Kali appeared first on Majalah SWA Online.

Kusuma Anggraini, Trah Mooryati Soedibyo di Bisnis Perhotelan

$
0
0

Kusuma Anggraini merupakan generasi ketiga atau cucu Mooryati Sudibyo, pengusaha yang sukses mendirikan dan membesarkan Mustika Ratu, imperium bisnis di bidang kosmetik dan properti. Ninik, sapaan akrab Kusuma Anggraini, adalah anak Djoko Ramiadji, putra sulung Mooryati.

Kusuma Anggraini

Kusuma Anggraini

Perempuan bertubuh ramping dan berparas cantik ini sejak belia ditempa untuk hidup mandiri. Sejak SMA ia dan saudara kembarnya menempuh pendidikan di Australia hingga menyelesaikan jenjang S-2 di Edith Cowan University, Perth, Australia. Ninik menggambarkan, ketika berangkat ke Australia pada usia 14 tahun, ia tidak betah. Maklum, di Negeri Kanguru itu Ninik dan saudara kembarnya mesti tinggal di asrama, dan tidak ada kerabat di sana. “Saya ingin kembali ke Indonesia, tetapi Bapak tidak mengubah keputusannya. Beliau yakin, perempuan harus punya nilai lebih, salah satunya berpendidikan tinggi. Seterusnya, bapak memberi saya banyak wejangan mengenai sekolah dan bisnis,” tutur Ninik mengenang.

Neneknya, Mooryati, juga memberikan banyak wejangan, khususnya bagaimana hidup berkeluarga. “Saya lihat, beliau adalah pribadi yang pantang menyerah. Saya mencontoh niat kuat beliau untuk selalu belajar. Kepemimpinan merupakan watak yang menurun dari nenek ke saya,” kata Ninik.

Menurut istri Reza Rajasa ini, setelah meraih gelar master dari Edith Cowan University, Perth, ia kembali ke Indonesia dalam keadaan belum bekerja. Ninik bertanya kepada bapaknya, “Kalau Ninik membantu Mustika Ratu, kira-kira Eyang akan mengizinkan tidak?”

Djoko tegas menolak. “Ninik harus punya pengalaman dulu supaya kamu tahu apa minatmu. Jangan langsung kerja di perusahaan keluarga dengan gampangnya,” katanya. Bahkan, sekadar magang pun tak diizinkannya.

Mendengar penolakan bapaknya, Ninik merasa tertantang. Maka, dia pun mencari-cari lowongan pekerjaan di Internet, mengirimkan berbagai surat lamaran. Dan, alhamdulillah, diterima di perusahaan properti Cushman and Wakefield sebagai analis riset.

Setelah dua tahun berkarier, tepatnya pada 2009, seiring dengan tejadinya pergantian kepemimpinan di Mustika Ratu, dari Mooryati kepada putrinya, Putri Kuswisnuwardhani, maka pihak keluarga pun menanyakan kesediaan Ninik untuk menduduki posisi Direktur PT Mustika Princess Hotel (MPH), yang mengelola Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta. “Kenapa Ninik enggak pegang MPH saja?” tanya Mooryati. “Nenek tahu bahwa saya berminat pada properti,” kata Ninik. Apalagi, sebelum berkarier di Cushman and Wakefield, ketika studi S-2 ia bersama saudara kembarnya membantu bisnis properti yang dijalankan sang ayah di Australia.

Namun, keadaan tidak serta-merta jadi mudah meski Ninik langsung didapuk menjadi direktur. Ia dihadapkan pada sikap skeptis orang-orang yang lebih senior: “Memangnya Ninik yang semuda itu bisa memimpin kami?” begitu Ninik menirukan sikap skeptis orang-orang di MPH yang meragukannya. “Terus terang, saya merasakan tekanan yang berat,” kata Ninik, menggambarkan pengalamannya ketika bergabung dengan perusahaan keluarga.

Kusuma Anggraini

~~

Menghadapi tekanan seperti itu, Ninik tidak menyerah. Ia bertekad untuk belajar. “Tidak boleh gengsi mengakui kepada senior bahwa saya baru dan ingin belajar banyak hal dari mereka. Perlahan-lahan, saya membuktikan bahwa saya bisa berkontribusi. Saya bahu-membahu dengan Om sekaligus Direktur Utama MPH, Haryo Tejo Baskoro. Terbukti, saat Gunung Merapi menyebabkan hujan abu di Yogyakarta pada 2010, Sheraton Mustika mampu bertahan di tengah sepinya pengunjung,” tutur Ninik panjang lebar.

Belakangan, Mustika Ratu berekspansi dengan mengibarkan bendera PT Mustika Pasanggrahan untuk mendirikan dan mengelola The Heritage Hotel, Solo, yang kini dalam tahap awal pembangunannya. Di perusahaan ini, Ninik juga duduk sebagai direktur. Penggemar seni dan olah raga ini mengakui sangat menikmati masa pembangunan The Heritage Hotel. “Ada banyak kegiatan yang melibatkan seni di situ, contohnya rancang bangunan dan interior ruangnya,” kata Ninik bersemangat.

Di Mustika Pesanggrahan, Ninik benar-benar menikmati perannya dalam membangun hotel sejak awal. “Tugas mengharuskan saya menjalin relasi dengan banyak orang, menghadiri rapat, dan ikut menentukan konsep,” ujarnya bangga. Saat melakukan pemilihan (pitching) arsitek, Ninik bertatap muka langsung dengan tiga arsitek dan mendengarkan presentasi mereka. “Saya memutuskan mana arsitek yang sesuai, baru kemudian saya bawa rancangannya dalam rapat dengan nenek. Saya merasa, nenek percaya akan kemampuan saya membuat keputusan,” tuturnya.

Apa saja mimpi menantu Menko Perekonomian Hatta Rajasa ini? “Mimpi saya adalah mendirikan hotel bintang 6 sekaligus resor di Bali dan Maladewa, ha-ha- ha…. Namanya juga mimpi,” ungkapnya bercanda. Bagi Ninik, yang penting Mustika Ratu terus berkiprah di masa depan hingga generasi keempat. “Saya ingin kerabat seperti sepupu ikut bergabung pula,” ujarnya dengan mantap.(*)

Didin Abidin Masud & Rosa Sekar Mangalandum

The post Kusuma Anggraini, Trah Mooryati Soedibyo di Bisnis Perhotelan appeared first on Majalah SWA Online.

Major Minor Ingin Berkembang di Pasar Domestik

$
0
0
Major Minor

~~

 Usia label lokal Major Minor belum genap dua tahun, tetapi langkahnya untuk menjadi sebuahmerek besar sudah mulai menunjukkan titik terang. Busana siap pakai yang dimotori pasangan suami istri, Ari Seputra dan Sari Seputra, serta desainer muda Inneke Margaretha dan Ambar Pratiwi ini mampu menembus Harvey Nicols, London. Di situs belanja onlinewww.harveynichols.com, busana hasil karya Ari Seputra dkk. itu tampil bersama busana rancangan desainer kondang kelas dunia, seperti Kenzo, Armani, Alexander McQueen, Lanvin, Stella McCartney, Polo Ralph Lauren, Chloe, Michael Kors, dll. Harga Major Minor di Harvey Nicols berkisar 150-350 poundsterling (atau Rp 2,25-5,25 juta) per potong.

Major Minor bukan sekadar mejeng diHarvey Nicols, melainkan juga laris manis. Buktinya, setelah pesanan pertama sebanyak 105 potong, mereka melakukan order ulang untuk musim spring/summer. Padahal, Harvey Nicols membuat aturan yang cukup ketat. Jika penjualan busananya loyo, desainer harus siap-siap ditendang dari Harvey Nicols. “Sekarang mereka sudah mau mulai order untuk yang autumn/winter. Lookbook untuk season ini sudah kami kirim ke mereka,” kata Ari.

Di jagat fashion nasional, nama Ari Seputra tak asing lagi. Ia sudah satu dekade meramaikan panggung fashiondi Tanah Air, dan sempat memperkuat Rumah Mode Prajudi. Ia banyak bermain di kain tradisional. Setelah keluar dari Rumah Mode Prajudi, Ari mulai membuat labelnya sendiri di tahun 2000. Sementara istrinya, Sari Seputra, yang berkarier sebagai pengacara korporat akhirnya meninggalkan pekerjaan karena kecintaannya pada dunia fashion. Pasutri ini mulai merintis label Elaborate, Ari by Ari Seputra. Kemudian, pada 2011 meluncurkan label Major Minor.

Menurut Ari, ide awal label Major Minor ini terjadi setelah mengamati pasar busana nasional untuk anak-anak muda yang berkembang pesat. “Banyak merekbuat anak muda bermunculan, termasuk yang dijual melalui online shopping,” ungkap Ari. Akhirnya ia berpikir, kenapa tidak mencoba masuk ke pasar ini.

Nah, untuk meluncurkan Major Minor, Ari pun menggandeng dua desainer muda, Inneke Margaretha dan Ambar Pratiwi yang memang sudah bergabung dengannya dalam menggarap Elaborate dan Ari by Ari Seputra.

Label Major Minor pun mulai mejeng di the Goods Dept lewat proses seleksi yang ketat. Di Goods Dept, Major Minor mengirimkan 100 potong dan ludes dalam tempo dua minggu saja. Apa kekuatan desain Major Minor sehingga digandrungi pecinta busana? Menurut Ambar, busana karya desainer lain di Goods Dept cenderung pada warna-warna gelap. “Keunggulan kami di Major Minor lebih berani main warna, mencampur warna. Desain kami juga ada detail tapi masih bisa dipakai sehari-hari, easy to wear,” ia menuturkan.

Ari menekankan, konsep desain Major Minor, antara lain, blocking warna dan edgy. “Itu garis besar konsep desain kami, sehingga berbeda dari desainer lain,” ia menandaskan. Menurut Sari, untuk mengorbitkan Major Minor, selain bersandar pada kekuatan desain, juga mengandalkan kualitas bahannya yang bagus. Karena itu, Major Minor punya banyak kelebihan dibanding baju biasa atau buatan garmen pada umumnya. Harganya juga cukup kompetitif.

Di dalam negeri, selain di Goods Dept, busana Major Minor juga bisa dijumpai di Sogo, dan tahun ini membuka toko sendiri di EX Plaza Indonesia. Ke depan, Sari menambahkan, Major Minor ingin memiliki jaringan toko independen sendiri. Sari mengakui, kehadiran Major Minor belum terlalu banyak diketahui di Indonesia. Maklum, baru jalan satu setengah tahun. “Jadi, strategi pemasaran kami harus lebih kuat lagi, harus lebih gencar lagi berpromosi,” ujarnya.

Untuk mengorbitkan Major Minor di luar negeri, Sari pertama kali melangkah ke Singapura. Ia keluar masuk mendatangi department store di negeri tetangga itu. Hasilnya? “Lumayan. Saya bikin presentasi November, Desember dari mereka udah nelepon balik saya dan April kami bisa masuk Isetan, dept. store kenamaan di Singapura,” kata Sari.

Menurut Sari, Major Minor sudah memiliki basis pelanggan yang cukup banyak di Singapura. Karena itu, Sari berkeinginan untuk memperbanyak pelanggan di pasar domestik. Ia berharap, banyak dept. store yang mau menjual produknya. Sayangnya, semua dept. storedi sini selalu menerapkan sistem konsinyasi. “Dari sudut bisnis kami yang masih kecil, hal seperti itu menyusahkan untuk berkembang. Maka, kami berusaha sekali untuk punya toko sendiri,” ungkapnya.

Didin Abidin Masud & Nimas Novi Dwi Arini

 

Riset: Sarah Ratna

 

The post Major Minor Ingin Berkembang di Pasar Domestik appeared first on Majalah SWA Online.

Stephanus Koeswandi Meniupkan Profesionalisme di Tata Logam Lestari

$
0
0
Stephanus Koeswandi

Stephanus Koeswandi

Jika menyebut PT Tata Logam Lestari, orang akan langsung mengasosiasikannya dengan genteng metal. Tidak salah memang, perusahan ini merupakan penguasa pasar genteng metal, dengan pangsa sekitar 80%. Akan tetapi, Tata Logam bukan cuma produsen genteng metal, melainkan juga produsen rangka atap baja ringan dan rumah pre fabrikasi – yang juga terbuat dari bahan metal.

Tata Logam merupakan perusahaan keluarga yang didirikan pasangan Yarrianto Rismono dan Wulani Wihardjono. Kala itu karyawannya baru empat orang. Pabrik merangkap kantornya berupa rumah tinggal yang berlokasi di Jalan Palem Raya, Jakarta Barat. Yarrianto memproduksi genteng metal karena melihat rumah-rumah di sepanjang jalan itu masih menggunakan atap seng yang berkarat. “Dari situlah ayah saya ingin ‘mengatapi’ dan menggantikan seluruh logam seng yang berkarat tadi dengan produk terbaik kami,” kata Stephanus Koeswandi, Vice President Tata Logam.

Menurut Stephanus, tahun 1994 itu perusahaannya masih sangat kecil. Modal awalnya mungkin hanya sekitar Rp 100 juta. Seiring dengan berjalannya waktu, bisnis Tata Logam terus berkembang. Kini, ia sudah menjelma sebagai pemain besar di industri baja ringan. Dengan empat pabrik besar, tiga di Cikarang dan satu di Cibitung, Tata Logam yang diperkuat 900 karyawan mampu menghasilkan produk baja ringan sebanyak 15.000 ton/bulan. “Kapitalisasi bisnis ini pun cukup besar, yakni berkisar Rp 4-5 triliun,” ungkapnya.

Bisnis Tata Logam bergulir kencang setelah pemerintah menggencarkan pemberantasan illegal loging. Harga kayu semakin mahal. Di sisi lain, dengan menggunakan baja ringan, rangka bangunan terhindar dari serangan rayap. Lebih awet dan tahan karat.

Tata Logam meluncurkan produk genteng metal dengan merek Multi Roof, Sakura Roof, Multi Sirap dan Fancy. Untuk atap gelombang, perusahaan ini menghadirkan merek Soka Jempol dan Sakura MX. Sementara, rangka atap baja ringannya diberi merek Sakura Truss dan Taso. “Untuk Sakura Truss ini kami gunakan Tantowi Yahya sebagai brand ambassadornya,” ujar Stephanus.

Tata Logam memasarkan produknya lewat 42 distributor yang tersebar di seluruh Indonesia, dan ditopang 4.000-an toko bahan bangunan. Di luar itu, Tata memasarkannya secara langsung lewat gerai bernama Roofmart Express. Jumlahnya saat ini mencapai 22 buah. Pendirian Roofmart tak lepas dari keinginan mewujudkan konsep gerai modern. “Kalau toko bangunan kan mungkin agak susah displai barangnya. Jadi, kami menciptakan konsep supermarket khusus untuk atap, yang menyediakan genteng metal, baja ringan, ataupun rangka platform, semua ada di situ,” tutur Stephanus.

Stephanus adalah sulung dari dua bersaudara anak pasangan Yarrianto-Wulani. Peraih Master of Engineering/Computer Engineering di RMIT University, Melbourne, Australia, 2005 ini mulai bergabung dengan perusahaan keluarganya pada Agustus 2006. Sebelumnya, ia sempat berkarier di Melbourne, bekerja sebagai Auditor Saham Junior di Coles Group Ltd.

Meski anak pemilik, Stephanus tidak langsung duduk di kursi empuk Tata Logam, tetapi harus merangkak dari bawah, yakni sebagai programmer – sesuai dengan pendidikannya di bidang komputer. Dari situ kemudian beranjak menjadi manajer sistem informasi. Dan, seiring dengan berjalannya waktu, ia terus mempelajari bidang lainnya, hingga akhirnya dipercaya sebagai VP Tata Logam.

Stephanus kini bertugas di bidang operasional, misalnya menangani pembelian bahan baku. Namun, kadang juga mengemban tugas sebagai tenaga penjualan. “Jadi, tugasnya campur-campur he-he-he,” ujarnya.

Pria kelahiran 31 tahun silam ini tidak secara spesifik menyebutkan proses penggemblengan dari ayahnya. “Papa saya bilang bahwa saya harus selalu tekun mendalami bisnis, harus melakukan apa pun dengan kesungguhan hati,” ujarnya. Maka, tak aneh jika Stephanus selalu teknun mengerjakan tugasnya. Ia juga rajin belajar, baik dari orang-orang yang ada di Tata Logam maupun di luar perusahaan.

Lalu, akan dibawa ke mana Tata Logam? Pria berkacamata ini bertekad terus menambah jaringan distribusi, agar pasarnya makin luas. “Kami juga akan memperbesar kapasitas untuk produk Sakura MX, karena potensinya masih sangat besar,” tuturnya.

Stephanus menyebutkan, rencana yang akan ditempuh dalam waktu dekat adalah menambah gerai Roofmart Express. Untuk mempercepat penambahan gerai, perusahaannya juga akan menjalin kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk franchise. Di sisi lain, produksi rumah instan (pre fab ware house) juga akan digenjot. “Kami sedang kerjakan proyek pre fab ware house ini di Timor Leste senilai Rp 1,5 miliar untuk pembuatan gudang kopi. Kami memang akan garap lebih serius lagi untuk produk ini,” Stephanus menandaskan.(*)

Didin Abidin Masud & Gustyanita Pratiwi. Riset: Sarah Ratna

The post Stephanus Koeswandi Meniupkan Profesionalisme di Tata Logam Lestari appeared first on Majalah SWA Online.


Miskiyata Harum Sabrina: Teman Sekerja Bukan Sekadar Kolega

$
0
0

Dalam presentasinya yang bertajuk “Employer of Choice with Sustainable Human Resources di ajang HR Future Leader 1 Mei lalu, Miskiyata Harum Sabrina, Associate Business HR for Support Unit, Human Resources and Development PT Bank DBS Indonesia, menekankan pada aspek happiness, well being, dan future untuk mewujudkan perusahaan pilihan dalam pasar tenaga kerja. Untuk itu, pihaknya melakukan beberapa hal pada bidang akuisisi, maintenance dan pengembangan. Dua hal utama yang ditekankan dalam akuisisi talenta yaitu menempatkan profesional dengan sikap yang tepat untuk pekerjaan yang juga tepat dan mencari talenta muda yang berbakat.

Miskiyata Harum Sabrina, Bank DBS Indonesia

Miskiyata Harum Sabrina

Dalam hal maintenance, Arum – sapaan akrab Miskiyata Harum Sabrina — ingin membangun kultur kerja yang saling menghargai antarkaryawan pada tiap tingkat. Selain itu, ia juga membangun sistem kerja yang fleksibel serta lingkungan kerja yang menyenangkan dan saling memotivasi. Dalam hal pengembangan karyawan, ia ingin menyediakan kesempatan belajar secara formal dan informal bagi mereka, selain ingin menciptakan lingkungan serta sistem yang mendukung karyawan berkembang secara profesional dan personal.

Menurut Arum, DBS sama seperti bank lainnya. Model operasional DBS dibagi menjadi dua: generalis dan spesialis. Untuk generalis ada HR Business Partner. Untuk spesialis ada beberapa bagian, yaitu reward untuk compensation and benefit, HR Operational, akuisisi talenta untuk bagian rekrutmen, serta pembelajaran dan pengembangan talenta.

Di HR DBS, sejak tiga tahun lalu Arum lebih menekankan ke sisi people engagement. “Hal ini dilakukan karena kami ingin karyawan DBS memiliki tingkat engagement yang baik,” tuturnya.

Ia menyatakan, tantangan dari sisi HR adalah persaingan perebutan talenta di pasar yang cukup tinggi. “Tantangannya adalah bagaimana kami bisa menghadirkan program dengan insiatif yang bisa menarik perhatian talenta dan mengelola karyawan kami untuk jangka panjang,” Arum menegaskan.

Adapun keunikan manajemen HR di DBS adalah sangat menekankan pada kultur Asia, yaitu kekeluargaan, kedekatan, dan budaya pintu terbuka. “Teman kerja tidak hanya sebagai kolega, tetapi kami memiliki hubungan yang lebih dari itu. Kami ingin membangun kultur yang tidak ada gap antara atasan dan bawahan,” tutur Arum.(*)

Denoan Rinaldi & Didin Abidin Masud

The post Miskiyata Harum Sabrina: Teman Sekerja Bukan Sekadar Kolega appeared first on Majalah SWA Online.

Gadrie Food, Industri Rumahan Menerobos Hotel Bintang Lima

$
0
0

Gadrie Food benar-benar merupakan industri roti rumahan. Proses produksinya dijalankan di sebuah rumah di Jl. Hud II/18, Rawa Belong, Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pengerjaannya dilakukan secara manual. Meski begitu, produk Gadrie Food digandrungi kalangan menengah-atas. Buktinya, roti merek Gadrie Food mampu menembus restoran, supermarket, dan hotel papan atas.

Syarief Baihaqi

Syarief Baihaqi, CEO Gadrie Food

Gadrie Food? Mungkin nama ini agak asing bagi pecinta roti. Popularitasnya kalah jauh dibanding raksasa Sari Roti. Namun jangan salah, untuk produk frozen food khas Timur Tengah, produk Gadrie Food juara di pasaran. Produknya sudah menyebar di berbagai supermarket kenamaan, seperti Hero, Giant, Hypermart, All Fresh, Food Hall, Kem Chick’s, Ranch Market, Farmer Market, Gelael, Grand Lucky, Rezeki Supermarket, Total Buah, dan banyak lagi. Juga masuk ke resto dan hotel berbintang. Sayang, nama hotel dan resto tidak boleh disebutkan, kecuali Hotel Four Seasons.

Cikal bakal Gadrie Food adalah usaha katering yang dikelola Syarifah Azizah tahun 2000-an. Hobi memasaknya ia curahkan dengan segenap hati untuk melestarikan masakan asal tanah kelahiran leluhurnya. Produk andalannya adalah nasi kebuli, roti jala dan roti maryam. Hidangan ini ia sajikan untuk hajatan besar seperti pesta pernikahan.

Beberapa tahun berjalan, Syarifah merasa kerepotan dalam menjalankan usaha kateringnya. Ia pun tidak sanggup lagi memenuhi permintaan pelanggan yang kian membludak. Akhirnya tahun 2005, Syarief Baihaqi ikut turun tangan. Putra bungsunya ini merombak total manajemen usaha mulai dari memperbarui kemasan, pengurusan surat izin usaha, pendaftaran hak paten, dan sertifikasi BPOM, serta aktivitas lain yang berhubungan dengan pemasaran. Syarifah pun lebih tenang mengurus produksi, karena kepemimpinan bisnisnya sudah dipegang sang anak.

Syarief Baihaqi (26 tahun) kini bertindak sebagai CEO Gadrie Food. Tanggung jawabnya mulai dari pengadaan bahan baku hingga penjualan. Sementara sang ayah, Syarief Buchari, berperan sebagai penasihat. “Artinya saya hanya ikut andil dalam memberikan pertimbangan yang tepat bagi kelangsungan produksi,” tutur Buchari. Kebetulan ia aktif di Kadin, sehingga bisa menunjang aktivitas bisnis Gadrie Food. “Sekarang yang menangani semua aktivitas bisnis adalah anak saya, Baihaqi,” tambah Buchari.

Syarief Baihaqi, suami Chairun Nisa dan ayah Syarief Dastan Ibraheem ini adalah sarjana lulusan Desain Komunikasi Visual Grafis dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Maka tak anehlah, sentuhan tangannya menjamah bidang promosi dan pemasaran serta kemasan, sesuai dengan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah.

Produk utama Gadrie Food adalah roti maryam. Kemasannya ada dua jenis: satu pak isi 8 potong atau satu karton terdiri dari 12 pak. Dan satu pak isi empat potong atau satu karton isi 24 pak. Ada dua varian roti maryam yang diproduksi, pertama, Maryam Gadrie, yaitu roti maryam yang terbuat dari tepung terigu dengan kadar protein kualitas tinggi, diolah dengan butter blend dengan kadar butter 99% hingga menghasilkan roti dengan ciri khas khusus. Roti maryam ini biasa disajikan untuk pengganti nasi atau roti saat sarapan atau bisa disajikan dengan toping manis seperti keju, susu, madu, sari korma, selai, meses, gula, dll. Atau disajikan asin dengan pelengkap seperti kare, gulai, salad dan mayonaise.

Kedua, Maryam Sylvana yang merupakan variasi dari Gadrie. Yang membedakannya hanya pada penggunaan butternya. Jenis ini terdiri dari tiga rasa, yaitu margarin (lemak nabati), butterfat (lemak susu), dan buttermilk (lowfat-unsalted-unhydrogenated) alias susu rendah lemak. Masing-masing memiliki isi yang sama yaitu satu pak isi satu potong, atau satu karton isi 50 pak.

Produk lainnya adalah roti Sambousa, yang merupakan camilan pendamping saat minum teh atau sedang santai. Dulu sempat ada 6 rasa, tetapi setelah dievaluasi berdasarkan tingkat penjualannya, akhirnya kembali menjadi tiga rasa: sapi, ayam, dan sayur. Untuk rasa sapi, digunakan knuckel cut, paha sapi tanpa lemak. Rasa ayam, bahannya 100% daging dada ayam, dan sayur menggunakan sayuran beku pilihan seperti bawang Bombay, jagung, kacang polong, buncis, dan wortel. Dalam satu pak terdapat lima potong atau satu karton 24 pak. Produk yang dihentikan adalah rasa keju, cokelat dan buah.

Syarief  Baihaqi

~~

Harganya relatif lebih mahal jika dibanding roti “biasa”. Roti Maryam 8 potong dilepas seharga Rp 44 ribu, empat potong Rp 22 ribu. Roti Sambousa Rp 22 ribu, sedangkan bumbu kari Rp 33 ribu. Karena yang dibidik adalah pasar kelas menengah-atas, harga seperti itu bukan halangan bagi para konsumen untuk menikmati roti buatan Gadrie Food.

Karena produknya masuk ke supermarket, hotel dan resto berkelas, pengemasannya pun dibuat apik, lewat proses vakum (kedap udara), sehingga bisa tahan hingga setahun. Meski begitu, kedaluwarsanya tetap ditulis 6 bulan saja. Kemasannya sudah kualitas ekspor: tahan banting, tahan cuaca, dan tahan tekanan. Sehingga, ketika produk Gadrie Food diangkut lewat darat, laut atau udara, bisa tetap bagus sampai ke pemesan.

Gadrie Food leluasa masuk ke supermarket, hotel, dan resto berkelas karena praktis tidak memiliki pesaing. Kalau pun ada, pesaingnya berasal dari Malaysia (merek Qarts) atau Singapura (Spring Home). Sementara pemain lokal, kemasannya masih sederhana.

Baihaqi berharap, suatu saat nanti Gadrie Food bisa menerobos pasar Singapura dan Malaysia. “Permintaan khusus dari Singapura dan Malaysia sudah ada. Hanya untuk formalnya masuk ke pasar negara tetangga baru akan digarap di masa mendatang,” kata Baihaqi.

Investasi yang dibenamkan Rp 150 juta. Dengan tingkat keuntungan 25%, modal itu impas dalam tempo empat tahun. Kini, setiap hari Gadrie Food memproduksi 500 potong roti Maryam. Omsetnya berkisar Rp 40-60 juta per bulan.

Seorang pelanggan Gadrie Food, Ernawati, 35 tahun, Pegawai di Kementerian Pertanian, mengaku kerap memesan roti Maryam. Ia mengenal roti Maryam tahun lalu, ketika diselenggarakan bazar di kantornya. Semula Ernawati cuma mencoba-coba, ternyata rasanya enak. Akhirnya ia ketagihan, sehingga sering memesan dalam jumlah lumayan banyak. Selain untuk dimakan sendiri, juga untuk dibawa sebagai oleh-oleh jika berkunjung ke kerabatnya, atau ada saudaranya yang datang ke rumah.

Ernawati puas dengan kualitas produk roti Maryam Gadrie Food karena kemasannya yang bagus, sehingga higienitasnya terjamin.

Didin Abidin Masud & Gustyanita Pratiwi

Riset: Adinda Khalil

The post Gadrie Food, Industri Rumahan Menerobos Hotel Bintang Lima appeared first on Majalah SWA Online.

Juchiro Tampi: Bermimpi Jadi Pemain Migas Kelas Asia Pasifik

$
0
0
Juchiro Tampi

~~

Usaha keluarga Eddy Tampi bermula dari bisnis katering untuk industri migas pada 1971, terutama memasok makanan ke Petro Merten dan ConocoPhillips. Semula bisnis kateringnya dijalankan lewat CV Sele Raya, kemudian berubah menjadi PT Sele Raya pada 1977. Eddy Tampi lalu terlibat lebih dalam di industri migas dengan terjun ke bidang seismik akuisisi pada 1980-an. Seismik akuisisi adalah kegiatan pertama yang harus dilakukan sebelum pengeboran. Jadi, Sele Raya bergerak sebagai layanan pendukung industri migas.

Tahun 1986, Sele Raya mendapat kepercayaan untuk mengoperasikan Sembakung Field di Kalimantan selama empat tahun dengan produksi minyak sekitar 3.600 barel per hari. “Bila dilihat dari kemampuan, kami sudah tahu know-how dari seismik, sudah berpengalaman dalam pengoperasian produksi. Ayah saya pun punya cita-cita. Perusahaan dan pengusaha nasional harus bisa berkompetisi dengan perusahaan asing dalam pengelolaan minyak dan gas bumi,” tutur Juchiro Tampi, yang diberi kepercayaan oleh ayahnya untuk memimpin perusahaan minyak keluarga itu sejak 2004.

Pada 1994, Sele Raya benar-benar menjadi perusahaan minyak. Layanan jasa pengeboran dilepas. Sele Raya berkonsentrasi menjadi operator production sharing contractor – seperti Pertamina dan Medco. “Kami pegang TAC BUMP Meruap dan TAC Mayumi. Pada 2003, kami mulai mengelola Blok Sele Raya Merangin Dua, Blok Belida, dan Blok Blora,” Juchiro menerangkan.

Anak kedua dari empat bersaudara ini bertanggung jawab menjalankan operasional PT Sele Raya Merangin Dua, PT Sele Raya Belida, dan PT Sele Raya Blora. Si sulung, Mariko Tampi, memegang keuangan. Anak ketiga, Yuriko Tampi, memegang divisi pengembangan bisnis. Sementara si bungsu, juga perempuan, masih menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Juchiro yang kelahiran 26 Juli 1979 ini adalah satu-satunya anak laki-laki keluarga Tampi.

Juchiro menempuh pendidikan di New York University, tepatnya di Stern Business School, selama empat tahun. “Saya mengambil program empat gelar, yakni Finance, Marketing, International Business, dan Arts and Humanity,” tuturnya. Tak satu pun mayor kuliahnya berhubungan dengan sektor perminyakan. Maka, setelah lulus tahun 2002, Juchiro kembali ke Indonesia. Kemudian mulai dengan menjadi wirausaha. “Saya memasok jasa pengeboran untuk Pertamina dan CNNOC,” ia menambahkan.

Kiprahnya di pengeboran membuatnya mengenal industri migas, mulai dari material, manajemen, timing, sampai kenal dengan para profesional yang lebih senior. Ia menjalankan bisnisnya sampai 2004. Tahun itu pula, Juchiro dipercaya ayahnya menjadi GM Sele Raya. Tugasnya, mengonsolidasikan divisi migas Sele Raya, meliputi perencanaan, penganggaran, sampai eksekusi.

Di bawah kepemimpinan Juchiro, Sele Raya tumbuh pesat, termasuk mampu menjalin kemitraan strategis dengan perusahaan multinasional, antara lain Sinochem (China) dan Tata Power (India). “Proyek ini dilakukan untuk beberapa aset Sele Raya,” ia menandaskan.

Di Blok Merangin Dua, Sele Raya berhasil mendapatkan persetujuan pemerintah untuk pengembangan lahan (land development) pada tahun ke-9. Di Indonesia, waktu 9 tahun tergolong cukup cepat. Biasanya, proses ini memakan waktu 10-12 tahun. Sele Raya bisa bergerak cepat karena organisasinya ramping, birokrasinya tidak gemuk, sehingga bisa bergerak lincah.

Karena kecepatan gerak itulah, Sele Raya pernah memperoleh penghargaan dari SKK Migas (dulu BP Migas), sebagai perusahaan terbaik dalam kategori komitmen eksplorasi tahun 2008 dan 2009. “Kami bisa mendapat kontrak komitmen dengan negara untuk mengebor 8 sumur dalam waktu 10 tahun. Tapi, kami bisa menyelesaikannya lebih cepat daripada perusahaan migas lain, termasuk asing,” tutur Juchiro.

Sele Raya kini menghasilkan minyak rata-rata 2.400 barel per hari dari lapangan Blok Merangin Dua. Adapun di Blok Belida, Sele Raya masih dalam tahap persetujuan POD. Ini merupakan langkah sebelum produksi, setelah eksplorasi. Kandungan minyak di Blok Belida diperkirakan di bawah angka 3.000 barel per hari. Sementara di Blok Blora, masih tahap eksplorasi. Dari produksi 2.400 barel itu, 89% merupakan jatah negara, sisanya 11% atau 264 barel per hari merupakan hak Sele Raya. Jika harga minyak US$ 95 per barel, pendapatan Sele Raya adalah US$ 25.080 atau Rp 238.260.000 per hari.

Investasi yang dibenamkan cukup besar. Pada pengeboran di darat (onshore), biaya keseluruhan berjumlah US$ 80 ribu/hari. Biasanya proyek onshore memakan waktu dua bulan sehingga investasi bisa mencapai US$ 4,8-6,5 juta. Ketiga ladang minyak Sele Raya berada di darat semua.

Meski begitu, Sele Raya pun pernah rugi besar ketika mengebor sumur minyak di Blok Blora tahun 2009. Ternyata, sumurnya kering (dry hole). Tidak mengandung minyak. “Jumlah kerugian untuk satu sumur sampai Rp 65 miliar. Bisnis migas memang padat modal, butuh teknologi tinggi, dan berisiko tinggi. Dan belum tentu high return,” kata Juchiro. Impian Juchiro, dalam lima tahun ke depan, Sele Raya bisa menghasilkan minyak sebanyak 10 ribu barel/hari dari tiga blok lapangan minyak yang dikelolanya.

 

Didin Abidin Masud & Rosa Sekar Mangalandum

The post Juchiro Tampi: Bermimpi Jadi Pemain Migas Kelas Asia Pasifik appeared first on Majalah SWA Online.

Jurus Angelica Widjaja Membesarkan Warung Tinggi Coffee

$
0
0
Angelica Widjaja

Angelica Widjaja

Namanya PT Warung Tinggi Coffee. Usianya sudah lebih dari seabad, tepatnya 135 tahun. Pabrik penggorengan dan penggilingan kopi ini merupakan divisi consumer goods Grup Pintu Air Mas (PAM) sejak 2001, atau 123 tahun setelah Warung Tinggi berdiri di tangan generasi pertama. Tahun 1998, di tangan generasi keempat, yakni Rudy Widjaja, usaha sempat jatuh ke titik nadir akibat tragedi krisis ekonomi 1998. Namun pada 2013, Warung Tinggi sudah kembali ke kancah industri beverage di bawah pengelolaan generasi kelima, Angelica Widjaja.

Begitu panjang jejak sejarah Warung Tinggi Coffee. Bermula ketika pada 1878 Liauw Tek Soen mendirikan sebuah toko di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Ketika itu, banyak penjaja biji kopi yang datang untuk menjual kopi kepada Liauw. Liauw pun kemudian membeli dan memanggang biji kopi itu dengan menggunakan penggorengan kecil dan dijualnya kepada tetangga atau orang terdekat saja. Ternyata, mereka menyukai kopi olahannya, sehingga akhirnya muncul ide untuk membuka satu toko kopi dengan merek namanya sendiri, yaitu Tek Soen Hoo.

Bisnis ini terus diwariskan secara turun-temurun. Sebelum sampai ke tangan Angelica, banyak perubahan yang telah dilakukan. Ayahnya, Rudy Widjaja alias Liauw Hiong Yen, memindahkan pabrik ke daerah Tangerang karena pabrik di Hayam Wuruk tidak memadai lagi untuk berproduksi yang kian meningkat.

Rudy juga mulai berekspansi dengan mengekspor kopi ke Jepang, Belanda dan Timur Tengah. Pasar lokal pun diperbesar, dengan masuk ke supermarket. Pada 2001, Rudy ingin memacu pertumbuhan Warung Tinggi supaya lebih besar lagi, lalu melakukan penggabungan usaha dengan Grup PAM, maka Warung Tinggi menjadi divisi consumer goods PAM.

Angelica memegang kendali Warung Tinggi pada 2004. Lulusan Jurusan Public Relation Universitas Pelita Harapan ini sebenarnya ingin berkarier di bidang PR atau media. Begitu lulus, Angelica bekerja di sebuah resto Jepang, Enoki, sebagai staf PR. Setelah setahun, Angelica pergi ke Taiwan untuk memperdalam bahasa Mandarin.

Pengelolaan Warung Tinggi sebenarnya mulai dialihkan dari ayahnya kepada kakak laki-laki Angelica. Hanya saja, karena sang kakak meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, akhirnya Angelica dipanggil pulang untuk meneruskan bisnis keluarga. “Saya punya dua kakak lagi. Tapi, mereka sudah punya karier sendiri. Papa saya tidak mungkin memaksa mereka kembali ke sini,” wanita berusia 31 tahun ini menuturkan.

Angelica meresapi betul wejangan dari ayahnya untuk bertindak jujur dalam berbinis. “Jangan bilang kopi bagus, tapi di belakang yang kamu kasih kopi jelek,” tutur Angelica menirukan ucapan ayahnya. Selain kejujuran, dia juga mengajarkan, setiap kali membeli bahan baku, harus dites dulu. Tanpa perkecualian. Tidak boleh sampai tidak. Itu paling penting. Dan, proses tes kopi tidak pendek. “Padahal dalam sebulan, kami bisa memesan bahan baku beberapa kali,” kata Angelica.

Angelica Widjaj

~~

Kini Warung Tinggi memproduksi 25-30 ton kopi per bulan. Hasil produksinya sebagian besar dilempar ke industri kopi (dengan model maklun), dan disalurkan ke hotel restoran kafe (horeka). Setidaknya ada 10 hotel di Jakarta yang mendapat pasokan kopi dari Warung Tinggi. Adapun penjualan ritelnya hanya dilakukan di Warung Tinggi Coffee.

Selain pasar domestik, kopi Warung Tinggi juga sudah dilempar ke Jepang dan Amerika Serikat. Sekarang sedang bersiap-siap untuk mengekspor ke Korea Selatan. Angelica bertekad menggenjot kapasitas produksinya hingga mencapai 100 ton per bulan. “Masih jauh,” ujarnya.

Angelica mengakui, tantangan di bisnis kopi sangat banyak. Karena begitu banyak pemain yang terjun ke bisnis kopi. “Kompetitor ada sekian banyak. Mereka itu kreatif sekali. Kalau kami mau tetap ada di ‘dunia persilatan ini’, harus inovatif. Harus bikin inovasi baru juga,” ia menandaskan. Ia akan tetap bermain di bisnis B2B. Tidak masuk ke pasar ritel seperti Kopi Kapal Api atau Indocafe karena keterbatasan saluran distribusi.

Angelica yakin, bisnisnya bisa bertahan dan terus berkembang dengan mengandalkan kualitas kopi dan metode penggorengannya. Kiatnya untuk tetap bertahan hanya satu: menjaga kualitas. “Kami memilih biji kopi terbaik sesuai dengan kriteria Warung Tinggi. Kalau bukan kualitas yang dijaga, apa lagi?” katanya menggarisbawahi.

Ia akan terus mencari klien maklun, karena volume penjualannya besar, sehingga memberikan kontribusi yang besar terhadap penjualan Warung Tinggi. “Sebelum saya masuk, maklun belum berjalan,” ujarnya.

Rudy berharap, Warung Tinggi Coffee bisa berkembang lebih maju di tangan Angelica. Ia ingin anaknya itu tidak berpindah ke bisnis lain. Rudy mengatakan, Angelica sempat tidak mau berbisnis, padahal bisnis keluarga itu makin besar dan makin bagus. Ia mengaku sudah mengajarkan semuanya tentang kopi kepada Angelica, mulai dari biji mentah, mutu kopi, cara roasting dan blending-nya, sampai kemudian menyeduhnya. “Itu sudah ada pada Angel. Mungkin masih butuh beberapa proses. Tapi, itu akan didapat dari pengalaman. Kadang-kadang, dia bercerita juga kalau menemui kesulitan soal kopi,” ujar Rudy.

Pada akhirnya, “Saya mau Warung Tinggi bertahan sampai seterusnya, generasi ke-6, ke-7, ke-8. Karena kata orang China, kalau bisa mempertahankan usaha sampai keturunan ke-7, pengusaha itu sukses sekali,” ungkap Rudy.

Didin Abidin Masud & Rosa Sekar Mangalandum

Riset: Siti Sumariyati

 

The post Jurus Angelica Widjaja Membesarkan Warung Tinggi Coffee appeared first on Majalah SWA Online.

Meraup Sukses dari Mesin Vacuum Frying

$
0
0
Yuniar Risdianto Rizki

~~

Berkali-kali mengajukan lamaran untuk mendapatkan pekerjaan, retapi tak ada respons, membuat Yuniar Risdianto Rizki banting setir dengan menggeluti usaha sendiri. Sarjana budidaya pertanian lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini pun menyimpan ijazahnya dan menjalankan “karier” bisnisnya secara serius. Jatuh-bangun dalam bisnis pun telah dialaminya.

Sebenarnya, ’karier’ sebagai pengusaha telah dijajakinya sejak masih kuliah. Di semester 6 perkuliahannya di IPB, Yuniar dan beberapa temannya pernah melakoni usaha agribisnis, tetapi saat memasarkan produknya mereka banyak bertemu mafia pasar yang menyulitkan usaha mereka. Ia dan tujuh temannya yang memiliki passion menjadi entrepreneur juga sempat bermtra dengan seorang pensiunan PT Badak yang memiliki uang pensiunan hingga sekitar Rp 2 miliar tetapi selalu gagal dalam membangun bisnisnya. Mereka pun berhasil hidup dari usaha warnet, kos-kosan, serta berjualan ikan dan tanaman hias.

Selulus kuliah, karena lamarannya ke berbagai perusahaan tak kunjung mendapat respon, ia pun berbisnis sendiri lagi dengan berjualan snack ke kos-kosan di sekitar kampus. Dengan modal awal hanya Rp 200 ribu, ia berhasil mengantongi omset Rp 5-7 juta per bulan. Hanya tiga bulan Rizki menjalani bisnis ini karena ia kemudian beralih ke bisnis franchise Country Donut. Namun, bisnis yang ia jalani di tahun 2004 ini bangkrut karena ia banyak “dikerjai” tenaga penjualan yang tidak jujur, padahal ia sudah mengeluarkan modal setidaknya Rp 200 juta.

Dalam kondisi itu, ia pulang ke kampung halaman istrinya di Bangka dengan hanya berbekal uang Rp 1 juta dan bahkan tidak punya uang lagi untuk kembali ke Malang. Akhirnya, ia dipinjami uang Rp 2 juta oleh sang mertua untuk pulang ke Malang, dan tiba di Malang dengan mengantongi sisa uang Rp 300 ribu. Dan, dimulailah babak baru perjalanan bisnis Rizki.

Saat itu, tahun 2006, ia diminta untuk mencarikan pemasok mesin vacuum frying keripik buah di Malang oleh seorang temannya, karena kakak temannya itu menang tender pengadaan mesin vacuum frying keripik buah di Dumai. Nilai proyek pengadaan mesin itu sekitar Rp 26 juta. “Saat itulah saya menemukan peluang dengan mengetahui bahwa si penjual mesin itu bukan produsen, melainkan hanya reseller. Saya berkeliling dan bertemu dengan pembuat mesin itu, dan ternyata harga yang ditawarkan jauh lebih murah. Selisih Rp 6 juta, dengan spesifikasi yang sama,” ungkapnya.

Ia melihat potensi memasarkan mesin vaccum frying melalui Internet. Modalnya pun murah, sekitar Rp 140 ribu. Sekitar Rp 80 ribu untuk domain dan Rp 60 ribu per tahun untuk biaya hosting. Ia mengajak dua temannya yang merupakan programmer dan desainer membuat situs online untuk memasarkan mesin vacuum frying tersebut. Jadilah ia reseller dan memasarkannya melalui situsmesin.com, website yang dibuat pada Juni 2007 dan diluncurkan pada 1 Oktober 2007.

Omsetnya di 2008 dapat mencapai Rp 250 juta per bulan. Ia juga bertemu dengan mitra baru yang mau bekerja sama mendirikan manufaktur mesin vacuum frying sendiri. Maka di akhir 2009, ia pun tidak lagi menjadi reseller mesin vacuum frying dari mitra lamanya dan telah memulai bisnis manufaktur mesin vacuum frying-nya sendiri.

Segera saja ia mendapatkan pesanan dari Sarawak, Malaysia, dengan nilai proyek Rp 40 juta. Di 2010 datang lagi pesanan dari luar negeri, kali ini dari Swedia. Pesanan dari Swedia itu ditujukan untuk pengiriman barang ke Nigeria. Pembayaran senilai US$ 7.000 dilakukan di muka. Pada 2011 ia kembali mengekspor produknya ke Hungaria dan Malaysia.

Saat ini Rizki memiliki 20 pegawai di bengkelnya serta enam pegawai pemasaran dan website. Pertumbuhan omset bisnisnya selama setahun pada Desember 2008 mencapai Rp 400-500 jutaan. Pada 2009 angka tersebut menjadi Rp 1,2 miliar dalam satu tahun, dan di 2010 naik menjadi Rp 1,4 miliar.

Selain itu, persentuhan dengan bidang Internet membuat Rizki juga menggarap bisnis e-commerce. Ia membuat KeboTech yang nantinya dimaksudkan untuk membuat website vacuum frying dalam bahasa Inggris. “Namun ternyata pada perkembangannya, saya membuat komunitas TI yang bernama Stasion (Startup Singo Edan),“ ujarnya. Debut KeboTech adalah membuat website Kotawisatabatu.com, dilanjutkan dengan pembuatan Jelajah.me yang mendapat penghargaan Sparxup 2011 dan Opentiket.com yang juga mendapatkan penghargaan Sparxup tahun 2013.

Selanjutnya, ia meluncurkan openkurir.com pada Mei 2012, situs dengan konsep marketplace. “Kami mempertemukan antara orang yang membutuhkan pekerjaan sebagai kurir dan orang yang membutuhkan jasa kurir. Saat ini sudah tergabung 78 kurir dari seluruh Indonesia,“ katanya. Ke depan, Rizki berencana mengembangkan bisnis e-commerce-nya dengan meluncurkan marketplace untuk produk-produk UKM. Selain itu, ia juga ingin membuat pabrik keripik buah sendiri.(*)

Denoan Rinaldi & Kristiana Anissa

Riset: Sarah Ratna Herni

The post Meraup Sukses dari Mesin Vacuum Frying appeared first on Majalah SWA Online.

William Salim, Lulusan Luar Negeri yang Jadi Petani

$
0
0

Usia William Salim masih sangat belia, 22 tahun. Ia menempuh pendidikan Manajemen Bisnis di Macquarie University, Sydney, Australia, dan lulus pada Desember 2012. Seusai menamatkan pendidikan, ia pulang ke kampung halamannya di Pemalang, kota kecil di Jawa Tengah.

William Salim

~~

Sebagai anak muda lulusan luar negeri, William memilih berbisnis sendiri. Yang agak aneh adalah pilihan bidang usahanya, yakni menjadi petani bawang merah dan cabe. Padahal, anak muda lulusan luar negeri pada umumnya memilih bisnis bidang teknologi informasi, gaya hidup seperti busana, sepatu, atau bisnis kuliner – William justru nekat menceburkan diri ke bisnis pertanian.

Ketika memutuskan terjun ke bidang pertanian, semula ayahnya, Freddy Salim, menentang keinginan sulung dari empat bersaudara ini. Alasannya, gengsi. “Sudah jauh-jauh sekolah ke luar negeri, masa iya mau menjadi petani lagi,” kata Freddy ketika itu. Freddy adalah petani cabe dan bawang merah yang sudah menggeluti profesinya selama 30 tahun. Ia tahu persis, bidang pertanian kurang prospektif karena susah diprediksi. Kendala utamanya adalah faktor cuaca yang susah ditebak. Jika cuaca sedang buruk, hasil panen bisa hancur, atau menghadapi fluktuasi harga yang tajam.

Jika harga sedang bagus, cabe dan bawang merah harganya bisa melambung hingga mendekati Rp 100 ribu per kg. Namun, jika panen berlimpah, harganya bisa anjlok menjadi cuma Rp 2.000/kg. “Tahun 2011-2012, harga bawang pernah berkisar Rp 1.800-4.000 per kg,” kata William.

Meski ayahnya kurang berkenan, William bersikeras untuk terjun ke pertanian. Ia bahkan sempat “mengancam” akan meminjam dana ke pihak lain jika ayahnya tidak mau memodali. Melihat kegigihan anaknya, Freddy pun luluh. Ia memberikan dana pinjaman buat modal usaha anaknya. Selain dana pinjaman dari ayahnya, William juga menggunakan uang tabungannya buat menambah modal usaha. Maklum, selama kuliah di Australia, ia juga sempat bekerja di berbagai perusahaan, seperti di resto McDonald’s dan Hotel Hilton, Sydney.

Maka, pada awal 2013, William pun mulai bertindak sebagai petani cabe dan bawang merah. Berapa modal awal yang dibenamkan? William enggan berbagi angka, tetapi akhirnya ia mau juga memberikan indikasi. “Modal awal berkisar Rp 1-2 miliar,” ujarnya. Dana itu terserap habis untuk sewa lahan seluas 15 hektare 20%; obat pertanian 50%; biaya tenaga kerja 10%; dan pembelian bibit 20%.

Soal teknis pertanian, ia mendapat bantuan dari ayahnya yang sudah kenyang makan asam garam di bidang ini. Dalam waktu dua bulan, William sudah memanen bawang merahnya, adapun cabe dipanen setelah masa penanaman tiga bulan. Untuk pemasaran hasil panennya, ia menjadi pemasok cabe PT Heinz ABC Indonesia. Sementara untuk bawang merah, ia bergerilya sendiri menjual produk pertaniannya ke pasar induk di Jakarta dan Bandung.

Untuk mengenal tata niaga bawang merah, William sempat blusukan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta selama sebulan. “Dari jam 03.00 sampai jam 9.00 saya tongkrongi Pasar Induk. Begitu setiap hari selama sebulan,” tutur William.

Selama setengah tahun saja, William bisa menggaet omset Rp 4 miliar dari komoditas cabe dan bawang merah. Dari penjualan hasil pertaniannya, William sudah mengembalikan pinjaman dari orang tuanya. Ia bisa cepat melunasi pinjaman karena hasil panennya sedang bagus, dan harganya juga sedang tinggi-tingginya belakangan ini. Siapa yang menduga, harga cabe dan bawang merah bertahan tinggi di kisaran Rp 100 ribu/kg. Sama dengan harga tahun 2010. Padahal pada 2011, harga cabe sempat menukik ke Rp 2-3 ribu/kg.

Dari 15 ha lahannya, William bisa memanen hingga 15 ton bawang merah per ha. Atau, sekitar 150 ton jika disetahunkan, sedangkan cabe sekitar 100 ton per tahun. Meski di tahun pertama bisnis pertanian William bisa “panen raya”, ia belum berencana ekpansi, misalnya dengan memperluas area tanamannya. Maklum, untuk bawang merah saja, setiap ha lahan memerlukan bibit bawang sekitar satu ton. “Untuk membeli bibit bawang saja perlu dana Rp 65 juta per ha,” kata William.

Alih-alih mengembangkan bisnis pertaniannya, William malah serius membidik bisnis kuliner sebagai upaya diversifikasi usahanya. Sampai ia beberapa kali melakukan survei di Jakarta untuk membuka resto. Ia berniat membuka resto dengan menu Western. Ia sudah menyambangi beberapa mal di Jakarta untuk menjajaki lokasi restonya.

William memang bertekad menjadi wirausaha. Meski ada beberapa korporasi yang menawarkan pekerjaan, ia lebih suka membuka bisnis sendiri. “Karakter saya tidak suka ikut orang. Saya lebih suka kerja sendiri walaupun kecil-kecilan. Dan sejak dulu saya memang ingin membuat lapangan pekerjaan supaya mengurangi pengangguran,” tuturnya. Di bisnis pertanian, William rata-rata mempekerjakan 100 orang buruh harian untuk menggarap lahan pertaniannya.

Didin Abidin Masud

The post William Salim, Lulusan Luar Negeri yang Jadi Petani appeared first on Majalah SWA Online.

Lalitya Sastrawinata Generasi Ketiga Dinasti Ciputra

$
0
0

Ciputra boleh bangga, sebagai “begawan properti” Indonesia, ia mulai melihat cucu-cucunya mulai berkiprah di bisnis properti yang dirintisnya beberapa dekade silam. Cucu Pak Ci dari putri pertamanya, Rina Ciputra (menikah dengan Budiarsa Sastrawinata), beberapa tahun terakhir mulai ikut berkiprah di Grup Ciputra.

Lalitya Sastrawinata

Lalitya Sastrawinata

Pasangan Rina-Budiarsa memiliki empat anak: Anindya Sastrawinata, Lalitya Sastrawinata, Nararya Sastrawinata, dan Aditya Sastrawinata. Si sulung Anindya, setelah ditempatkan di proyek Grup Ciputra di Palembang selama empat tahun, ditarik ke Citra Garden (Cengkareng). Lalitya bergabung dengan Citra Raya (Tangerang), dan Nararya sudah tiga tahun ditempatkan di proyek Grup Ciputra di China. Sementara itu, si bungsu Aditya baru menyelesaikan pendidikan pada Oktober tahun ini, dan sedang bekerja di bank.

“Kakak saya memang masuk duluan ke bisnis keluarga. Jadi, dia sudah enam tahun bergabung di bisnis keluarga. Tetapi, kami ditempatkannya di proyek yang berbeda-beda, memang sengaja tidak dijadikan satu,” kata Lalit, sapaan akrab Lalitya. Putri kedua Rina Ciputra ini baru bergabung dengan Grup Ciputra pada Maret 2011, sepulang dari Amerika Serikat. Sebelumnya, Lalit menempuh pendidikan di Wellesley College, Boston AS, dan lulus tahun 2007. Di Boston ia sempat bekerja di Palladium (perusahaan teknologi informasi) dan Atlantic-ACM (konsultan telekomunikasi).

Ketika menempuh pendidikan di bidang fisika, keluarga besarnya bingung dan bengong. Mau ditempatkan di mana nanti Lalit di bisnis real estate? Memang, sejak bocah Lalit sudah mengetahui bahwa bisnis keluarganya adalah bidang real estate. Maklum, ia kerap diajak dalam acara pembukaan proyek-proyek baru. Lalit ingat persis, pada 1994, ketika proyek Citra Raya dibuka pada 1994, ia diajak ke acara pembukaannya. ”Jadi, memang selalu diajak oleh orang tua ke proyek-proyek,” Lalit berujar. Jadi, meski secara formal tidak pernah diajari tentang bisnis keluarga, sejak kecil Lalit sudah menyadari, bisnis keluarganya memang di real estate.

Ketika diterjunkan di bisnis keluarga, Lalit pertama kali masuk sebagai Staf Pengembangan Bisnis disub holding 1 Grup Ciputra, yang membawahkan Citra Garden (Cengkareng) dan Citra Raya (Tangerang). Sub holding 1 dipimpin oleh ayahnya sendiri, Budiarsa. Ia juga pernah dirotasi ke bagian akuntansi dan keuangan, supaya tahu cara penjualan, treatment collection, dll. Ia pun tidak canggung bertanya kepada karyawan yang lebih senior mengenai cara presentasi, cara survei lahan untuk mengetahui cocok digunakan sebagai proyek apa, membuat busniness plan, dan melakukan feasibility study. “Kemudian, setelah ada proyek baru yang jalan, saya langsung ‘dilempar’ ke sana,” tutur Lalit.

Baru pada awal 2012 Lalit menduduki posisi Manajer Pengembangan Bisnis dan Manajer Marketing Communications (Marcomm) di Citra Raya. “Citra Raya ini proyek terbesar di sub holding kami, juga di Grup Ciputra, dari segi land bank,” Lalit menerangkan. Tadinya, Citra Raya tidak mengenal pengembangan bisnis. Padahal, perlu mencari proyek-proyek baru, sehingga dibentuklah departemen ini. ”Karena saya yang lebih tahu daripada teman-teman lain di sini, jadi akhirnya saya yang diberi tanggung jawab memegang jabatan itu,” tutur Lalit tentang jabatannya.

Adapun Marcommsemula di bawah Divisi Pemasaran. “Penjualan kami memang naik, tetapi tidak loncat,” ujarnya. Padahal, Citra Raya merupakan proyek berskala besar dan memiliki segudang fasilitas sehingga promosinya mesti diperkuat. “Penjualan kami tidak seimbang dengan jumlah fasilitas yang dimiliki. Jadi, diputuskan untuk memisahkan Marcomm dari Departemen Marketing, supaya mereka bisa fokus di penjualan, dan Marcomm bisa fokus dengan bagaimana bahasa kami (menjual) ke luar. Jadi, tugasnya seperti membuat iklan di berbagai media, serta melakukan pameran,” tutur Lalit panjang lebar.

Lalu, apa gebrakan yang dilakukan generasi ketiga Dinasti Ciputra ini? Menurut Lalit, dari segi penjualan, CitraRaya meningkat pesat sejak 2011. “Kami banyak tarik darah baru. Marketing office ini sudah kami renovasi total. Secara lingkungan pun, sejak peluncuran Eco Culture, sudah terlihat berbeda,” ujarnya. Konsumen mulai lebih banyak yang datang dan Citra Raya pun kian tenar. ”Cara kami jualan pun beda, karena kami sudah menggunakan broker di luar in-house. Jadi, nama Citra Raya sudah lebih ke luar. Kami juga sudah masuk ke social media, jadi sekarang Citra Raya sudah ada Facebook, Twitter, kemudian situsnya kami pastikan selalu update,” ia menandaskan. Selain itu, Citra Raya juga mulai masuk ke televisi dan radio. “Tetapi, belum sampai membuat satu program televisi sendiri.”

Pameran juga digarap kian intens. Ada Pameran Si Pengembang yang setiap tahun diadakan di JCC. Selain itu, juga pameran di sebuah mal di Karawaci, dan ini adalah salah satu yang tersukses. Mulai akhir 2012, pameran Citra Raya diperluas ke mal daerah Jakarta Selatan, seperti Senayan City. Ke Jakarta Utara, seperti Mal Artha Gading. Lalu, Jakarta Pusat, masuk ke Grand Indonesia. Namun, Jakarta Timur belum disentuh. “Jadi, kami coba pameran di lokasi-lokasi berbeda, supaya nama Citra Raya lebih dikenal,” ungkap Lalit.

Citra Raya mengandalkan konsep Eco Culture dalam pengembangan perumahannya. Apalagi, segmen menengah dan menengah-atas sudah lebih mengerti soal lingkungan. Jadi, EcoCulture sering diangkat ketika orang penjualan sedang menawarkan rumahnya. Mereka terangkan mengapa rumah di CitraRaya, yang termasuk dalam program EcoCulture, lebih mahal daripada yang lain, karena itu sudah mendapat pemanas air tenaga surya, ada biopori dan green wall. Lalu, sudah didesain agar cahaya masuk lebih banyak, sehingga tidak perlu banyak pakai lampu lagi. juga tidak perlu sering pakai kipas angin atau AC, karena ketika jendela dibuka akan ada aliran udara yang sehat.

Lalit mengakui, salah satu keunggulan menjadi bagian dari usaha keluarga, selain punya tanggung jawab yang melekat pada jabatannya, ia juga ditarik ke persoalan yang lebih ke korporat. Misalnya,sub holding 1 mau pinjam uang atau cari fund, ia juga terlibat di sana, walaupun itu bukan untuk di CitraRaya saja. “Dengan begitu, saya juga belajar tentang proyek-proyek lain yang ada di bawah sub holding kami,” ujar Lalit.(*)

Didin Abidin Masud

The post Lalitya Sastrawinata Generasi Ketiga Dinasti Ciputra appeared first on Majalah SWA Online.


Rimayanti Wardani, Juragan Sambal Ikan Roa Beromset Ratusan Juta per Bulan

$
0
0

Rimayanti Wardani (33 tahun) sejatinya bukan orang Manado. Akan tetapi, ia sukses berbisnis sambal khas Manado: sambal ikan roa. Produksi sambal roa yang diberi label Sambal Roa JuDes (juara pedes) setiap bulan rata-rata mencapai 7.000 botol dan selalu ludes terjual. Omsetnya per bulan ratusan juta rupiah.

Rimayanti Wardani

~~

Perkenalan Rima dengan sambal roa terjadi ketika ia masih kuliah di Jurusan Humas Interstudi, Jakarta, pada 1999. Kala itu, ia kos di kawasan Perbanas, Kuningan, bersama sahabatnya, Debi yang asal Manado. Jika balik dari Manado, Debi selalu membawa oleh-oleh sambal roa. Sejak itu pula Rima jatuh hati pada sambal roa. Setiap kali Debi pulang, Rima selalu memesan sambal roa.

Sedemikian keranjingannya pada sambal roa, akhirnya ia pun meminta resepnya, dan akhirnya Rima pun membuat sendiri sambal roa. “Tetapi, memang pada akhirnya citarasanya disesuaikan dengan selera saya,” tutur Rima. Sambal roa merupakan sambal dengan bahan dasar bawang merah, cabe merah dan ikan roa. Nah, ikan roa ini hidup di perairan pantai di Sulawesi Utara (Manado dan sekitarnya).

Debutnya berjualan sambal ikan roa dilakoni ketika ia memesan ikan roa kepada seniornya yang bekerja sebagai wartawan. Ia mendapat ikan roa sekilogram. Ia pun langsung mengolahnya menjadi sambal. Hasilnya ternyata banyak sekali. “Saya sampai bingung bagaimana cara menghabiskan dan membungkusnya supaya awet,” ia mengungkapkan.

Akhirnya, timbul ide untuk menyimpan sambal tersebut ke dalam botol kaca (tempat menyimpan ASI [air susu ibu] yang belum terpakai). Selesai dikemas, muncul kembali ide untuk mendokumentasikannya, siapa tahu bisa dipromosikan, syukur-syukur bisa mendatangkan keuntungan. “Saya langsung mengganti foto profil di BlackBerry Messenger (BBM) dengan foto sambal ikan roa,” kata Rima.

Esok harinya, muncul lagi keisengan untuk membawa empat botol ke kantor untuk dipajang di meja kerja. Tak disangka, sambal yang mulanya hanya sebagai tester itu ternyata diminati teman-teman kantor. Empat botol sambal roa ludes dalam hitungan menit. Beberapa temannya malah ada yang memesan.

Sementara di rumah masih tersisa sambal roa yang belum dikemas. Rima mengemasnya lagi dan berpromosi di BBM. Ternyata, banyak juga peminatnya. Order pun berdatangan. Sambal roa buatannya habis terjual. Untuk menjaga persediaan, dipesanlah lagi sekilo roa mentah ke teman yang di Manado. Bikin lagi, terjual lagi. Buat lagi, habis lagi. Begitu seterusnya.

Dalam tempo enam bulan saja, dari keuntungan jualan sambal itu, Rima mampu memberangkatkan ibunya naik haji ke Tanah Suci. Akhirnya, di bulan Juni 2012, ia memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai asisten manajer di Smartfren untuk fokus di sambal.

Sejak serius menekuni produksi sambal ikan roa, Rima pun makin intens menggarap media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk memasarkan produknya. Selain itu, ia juga mengirim gratis Sambal Roa JuDesnya kepada beberapa selebritas, seperti pasangan suami-istri Hanung Bramantyo-Zaskia Mecca, penyanyi Nina Tamam, presenter Andhara Early serta chef Bara Pattiradjawane yang kerap mengisi acara di televisi. Para selebritas itu kemudian memajang foto sambal roa buatan Rima dan memberikan komentarnya. Langkah ini langsung mendongkrak angka penjualan Sambal Roa JuDes.

Seiring dengan kian melajunya penjualan Sambal Roa JuDes, Rima pun akhirnya bekerja sama dengan pemasok ikan roa dari Manado, yang mengirimkan ikan roanya dalam bentuk yang sudah dihaluskan. Sehingga, Rima tidak perlu lagi membersihkan ikan tadi. Bisa langsung diolah untuk dicampur dengan bawang merah, cabai dan garam.

Untuk keperluan cabai dan bawang merahnya, suami Rima, Ciptoning Adiwijoyo, rajin membelinya dari pasar induk. Setiap dua hari menghabiskan cabai 50 kg dan bawang merah 30-40 kg. “Biasanya suami habis ngantor belanja ke pasar induk. Sampai-sampai dia jadi sering dicandain orang. Kalau ditanya, ’Kerjanya di mana?’, dijawabnya , “PI.” PI itu maksudnya pasar induk hahaha…,” ujar Rima sembari tergelak.

Sambal Roa JuDes dikemas dalam botol ukuran 200 gram, dan dijual eceran Rp 38.500 per botol. Namun, seiring dengan kenaikan harga bahan baku, per 1 Oktober harganya akan dinaikkan menjadi Rp 42.000 per botol. Kini, setiap bulan Dapur Nice Momy, nama tempat produksinya, mampu menghasilkan 7.000 botol Sambal Roa JuDes. Dengan harga eceran Rp 38.500 per botol, omsetnya Rp 269 jutaan. Tentu saja, tidak semuanya masuk ke kantong Rima, karena ada bagian yang disisihkan untuk para distributornya.

Yanesthi Hartini, 37 tahun, salah satu distributor Sambal Roa JuDes, mengungkapkan, ia mengenal Rima lewat Twitter pada 2002. Yanes pernah jualan tas, dompet, bantal emoticon, dll. “Nah, Rima sempat beli bantal emoticon saya. Lama-kelamaan kami akrab. Suatu ketika, dia pasang foto sambal roa di profil picture BBM-nya. Saya tertarik mencoba karena terus terang belum pernah merasakan sambal roa seperti apa. Ternyata, suka,” tuturnya.

Karena citarasanya cocok dengan seleranya, Yanes pun langsung BBM ke teman-teman lainnya. Ternyata, banyak yang memesan. Maka, sejak Juni 2012, Yanes secara kontinyu ikut menyebarkan Sambal Roa JuDes. Mula-mula ia mengambil dua lusin, lalu meningkat ke 100. Kini, setiap bulan Yanes mampu menjual 1.000-1.500 botol Sambal Roa JuDes. Daerah pemasarannya adalah Jawa Tengah.

Apa ambisi Rima ke depan? Tidak muluk-muluk. “Cukuplah dengan 10 ribu botol sebulan, yang penting semuanya tetap terjaga. Kemudian silaturahminya juga. Yang penting, bisa tetap merangkul semua yang jualan. Damai, happy, itu saja cukup,” ujarnya tandas. Sementara itu, untuk meningkatkan penjualan, Rima mengangkat lima teman dekatnya sebagai distributor dengan wilayah pemasaran sendiri-sendiri. Lima distributor ini kemudian mengangkat para bandar untuk menjual sambal ke konsumen. (*)

Didin Abidin Masud & Gustyanita Pratiwi

Riset: Sarah Ratna Herni

The post Rimayanti Wardani, Juragan Sambal Ikan Roa Beromset Ratusan Juta per Bulan appeared first on Majalah SWA Online.

L&K, Jam Tangan Mewah Made in Indonesia

$
0
0
Lucius Leon Worang dan Hocky Santha

Lucius Leon Worang dan Hocky Santha

Jam tangan premium identik dengan Swiss. Maklum, negara makmur di Eropa itu dikenal sebagai produsen jam tangan nomor wahid di dunia. Indonesia memang tidak memiliki tradisi sebagai produsen jam tangan, tetapi hal itu tak menghalangi dua pengusaha muda Indonesia, Lucius Leon Worang dan Hocky Santha, untuk terjun ke bisnis jam tangan eksklusif.

Lucius dan Hocky sepakat mengibarkan bendera usaha untuk mengusung jam tangan dengan merek Lucius & Ki (L&K) sejak 2009. Salah satu keunikan jam tangan L&K adalah adanya komponen kayu pada produknya.

Lucius, kelahiran Jakarta 1986, adalah lulusan MBA Cardiff University, Inggris, 2010. Adapun Hocky, kelahiran 1980, lulusan Jurusan Sistem Informasi di salah satu universitas swasta di Jakarta tahun 2002. Keduanya memiliki passion pada jam tangan. Lucius sudah mengoleksi jam tangan sejak duduk di bangku SMA, sedangkan Hocky merasa jatuh cinta pada jam ketika mendapat hadiah jam kayu tua dari neneknya kala usianya lima tahun. Sejak itu, Hocky terobsesi pada bagian-bagian kecil jam.

Mengapa memilih bisnis jam tangan? Karena, passion itu tadi. Mereka mendirikan perusahaan – dengan modal awal Rp 200 juta — bukan sebagai cara untuk mengumpulkan duit, tetapi lebih karena dorongan untuk menunjukkan kemampuan menghasilkan jam tangan yang artistik. Karena itu, meski Indonesia bukan dikenal sebagai negara produsen jam tangan jempolan, jam L&K mampu menembus pembeli di mancanegara, antara lain Italia, Inggris dan Rusia. Pasar Korea dan Timur Tengah juga dijajaki, selain pasar domestik Indonesia.

Padahal, L&K tidak pernah beriklan. Pemasarannya lebih mengandalkan kekuatan dari mulut ke mulut dan eskposur media: majalah internasional dan saluran televisi. Momen paling penting terjadi pada 2010 dan 2011, ketika L&K meluncurkan lini produk emas dan perak, yang diliput oleh Jakarta Globe. Kemudian, pada awal 2013, diliput New York Times. Sebelumnya, Majalah Business Week juga meliput, Bloomberg TV pun menayangakan. “Kami beruntung bertemu dengan customer dan teman-teman yang bisa mengapresiasi produk kami dan membantu menyebarkanya,” tutur Hocky.

Salah satu faktor yang membuat jam tangan L&K disukai karena ada unsur kayunya. Itu merupakan keunikan tersendiri yang tidak terdapat pada jam tangan produsen lain, apalagi jika dibandingkan jam produk massal. Jam L&K dibuat dengan tangan (hand made). Casing-nya terbuat dari stainless steel kelas satu sedangkan mesin dan kulit diimpor dari Austria, Swiss dan Jepang. “Pengadopsian kayu dalam produk kami menawarkan karakter personal untuk semua customer. Jam tangan harus mencerminkan personalitas,” ungkap Lucius.

Kayu yang digunakan adalah kayu merbau dan rengas yang berasal dari Sumatera dan sudah bersertifikat “hijau”. Setiap produk jam selalu unik karena tidak pernah ada dua kayu yang corak warna dan karakternya. “Seperti konsep manusia, tidak ada dua individu yang sama,” ia menegaskan. Harganya, berkisar antara US$ 2.500 – US$ 3.000 untuk produk standar. Jika ingin lebih customized, harganya bisa lebih mahal –bergantung pada spesifikasi yang dikehendaki pembeli.

Keunikan yang paling menonjol terletak pada dial kayu asli, dengan desain budaya Indonesia, berupa wayang, pendopo, dll. “Movement dari Swiss yang berkualitas tinggi dan di-handgrave lalu dilapisi emas. Buatan tangan, terbatas, unik, satu dan lain berbeda corak dial-nya,” Hocky menambahkan.

Wajar jika harga jam tangan L&K “lumayan”. Soalnya, untuk memproduksi satu jam tangan saja memakan waktu yang sangat lama, karena dibuat dengan tangan. “Dalam satu bulan maksimal hanya 3-5 jam yang dihasilkan,” Hocky menerangkan.

Jumlah karyawan L&K hanya empat orang. Satu pembuat jam, dua perajin, dan satu pengembang bisnis. “Karena perusahaan ini berdasarkan hobi, kami senang menjalankannya secara fleksibel dan kecil,” kata Lucius. Kinerja usahanya lumayan bagus. Dari tahun ke tahun omsetnya meningkat seiring dengan perbaikan produk, sehingga harganya juga makin meningkat. “Bisa 100% peningkatannya per tahun. Tetapi, kita bukan bicara jumlah yang besar, ya,” ujar Lucius.


L&K akan terus berkreasi, memperbaiki kinerja dan menambah kapasitas. Juga, meningkatkan kehadiran di dunia
online lewat website-nya, www.luciusandki.com. Kolektor jam tangan dari mancanegara melakukan pemesanan secara online. Ke depan, mereka juga sudah mulai memikirkan sebuah butik untuk memajang produk L&K.(*)

Didin Abidin Masud & Rangga Wiraspati

Riset: Sarah Ratna

The post L&K, Jam Tangan Mewah Made in Indonesia appeared first on Majalah SWA Online.

Solusi Jitu dari Cipto Santoso bagi Petani di Lereng Gunung Bromo

$
0
0

Cipto Santoso lewat PT Suryajaya Abadiperkasa (SA) memelopori pembudidayaan jamur kancing (champignon) di kawasan Gunung Bromo. Lahan di Gunung Bromo terkena abu vulkanik yang tebal setelah terjadi letusan pada 2010. Para petani tidak bisa menanam sayuran lagi. Maka, Cipto pun langsung memberikan solusi dengan menawarkan kepada petani untuk menanam jamur kancing. Maka, di atas lahan seluas 20 hektare, para petani Bromo pun dibimbing membudidayakan jamur kancing. Hasilnya, kini setiap hari rata-rata dihasilkan sekitar tiga ton jamur. Bagaimana lika-liku Cipto membina dan memberdayakan petani? Cipto Santoso menuturkannya kepada Suhariyanto:

JamurBromo

Cipto Santoso, founder PT Suryajaya Abadiperkasa (SA)

Bagaimana ide awalnya hingga SA terjun ke kegiatan sosial yang berkelanjutan?

Hidup ini sepertinya kurang berarti ya … kalau hanya berangkat ke kantor lalu pulang. Rasanya kering. Kebetulan tahun 2004, saya ikut ESQ-nya Pak Ary Ginanjar di Jakarta. Itu yang menjawab pertanyaan, siapa sejatinya diri kita? Untuk apa diciptakan. Dan kemana akan menuju?

Dari sini kita bisa temukan. Ternyata kebahagian akan kita peroleh kalau kita bisa berbagi dengan orang lain. Kalau dalam Islam, selain kita punya iman, kita harus beramal sholeh. Itu panggilan. Amanat. Termasuk ketika saya menjadi ketua Kadin. Jangan berpikiran jika jadi ketua Kadin lalu banyak proyek dan banyak duit. Justru ketua Kadin itu harus berpikir bagaimana bisa berbagai dengan UMKM.

Menurut saya, kalau kita banyak memberi, justru kita akan banyak menerima. Kalau kata Yusuf Mansur: sodaqoh… sodaqoh.. Kita tidak berpikir seberapa besar yang akan kita terima. Tapi pada apa yang dapat kita perbantukan dan berikan pada lingkungan ini. Allah sudah berjanji akan melipatgandakan.

SA sebagai usaha, memang harus profit center. Namun saya pribadi sebagai petinggi atau penanggung jawab — bukan sebagai pemilik (pemiliknya adalah investor di Jakarta, yang mohon maaf tidak bisa saya sebutkan namanya) — akhirnya memengaruhi filosofi perusahaan. Bahwa mengembangkan usaha, apalagi di bidang agroindustri, akan tumbuh dan membesar apabila bekerjasama dengan petani, peternak, dan petambak.

Dalam hal budidaya jamur, kita berdampingan dengan petani jamur di Bromo. Sewaktu datang ke Bromo, bukan kita ingin memperoleh berapa banyak jamur yang bisa kita terima. Namun saat itu, petani Bromo baru saja tertimpa erupsi pada 2010. Kita datang pada 2011. Kita ingin memberi bantuan. Solusi. Kepada petani yang tidak bisa menanam. Mulai dari kubis, kentang, jagung, dan semua jenis tanaman. Karena tebalnya abu vulkanik yang menimpa lahan mereka.

Saat itu, kita melihat ada gudang-gudang yang menganggur. Gudang kentang-kentang. Atau gudang-gudang hasil pertanian lainnya. Terus kita berpikir, bagaimana kalau gudang itu kita buatkan rak-rak untuk menanam jamur.

Dari kepedulian itu, sekarang tercipta kemitraan. Bisnis. Kita berikan teknologi dan sarana produksi. Begitu panen, kita kalengkan di sini. Jadi, kepedulian kita kepada lingkungan (dalam hal ini petani jamur Bromo) akhirnya menjadi kemitraan strategis dalam rangka memasarkan hasil.

Sejatinya, yang berinisiatif masuk ke petani jamur, kita gunakan Kadin. Karena adalah Kadin lembaga sosial. Kita rumuskan. Memberikan bantuan tidak dalam bentuk ikan. Tapi kail. Lalu kita usulkan, bahwa yang bisa dilakukan di sana hanya budidaya jamur. Karena udara sudah cocok (dingin) dan ada gudang menganggur. Maka pengurus Kadin memutuskan memberikan pelatihan-pelatihan jamur dan rak-rak tempat jamur kepada petani Bromo. SA, yang sudah lama berkecimpung di budidaya jamur, langsung memberikan arahan-arahan.

Dari sini akhirnya sama-sama berbuah profit. Petani untung. SA juga. Dan yang terpenting, bisa berkelanjutan. Tidak sekedar charity. Habis seremonial, selesai. Kalau ini, sudah berlangsung salama tiga tahun. Volume sudah tiga ton per hari.

Ciptopetani

Cipto dan para petani jamur binaan

Biasanya produksi sebesar itu bisa saja tercapai, namun yang susah justru di pemasarannya…

Itulah… Kita itu mampu mengemas dan memasarkan jamur tidak hanya di Probolinggo atau pasar domestik. Tapi kita mampu menembus pasar mancanegara. Seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara lain. Menurut saya, keahlian SA belum dimiliki oleh negara lain se Asia Tenggara.

Di Indonesia, profesi budidaya jamur kancing, amat langka. Hanya dua perusahaan yang masuk ke bidang ini. Selain kita, ada satu perusahaan lain (milik Bpk. Cholid) di Malang.

Yang di Malang itu bukan Rodeo?

Rodeo itu salah satu merek kami. Kemasan dalam bentuk plastik, kan.. (CS mengambil contoh jamur kemasan plastik merek Rodeo). Ini salah satu contoh karya kerjasama kami dengan petani jamur Bromo.

Kita beralih SA. SA berdiri tahun berapa?

Tahun 1990. Dulu didirikan oleh Henson Farma (orang Surabaya). Pada 1996, berganti pemilik dan manajemen. Manajemennya ya kami ini. Sejak awal memang produksi jamur. Di sini, hanya tempat pengalengan. Produksi jamurnya di gunung. Di daerah Sumber. Dekat Krucil. Di salah salah lereng Bromo juga. Luasnya sekitar 20 hektare.

Produksi per hari?

Kami punya fasilitas dengan hasil pada kisaran 5 – 10 ton per hari. Jamur juga masuk ke produk lain. Kita gabungkan dengan produk kita yang lain. Corned. Kita punya deferensiasi. Kalau biasanya cuma daging yang tinggi kolesterolnya. Kita campuri serat jamur sehingga kolesterol rendah. Dan menyehatkan.

Selain jamur dan daging apa lagi produk SA?

Kombinasi. Olahan lauk pauk dan sayuran. Misalnya sayur asem, lodeh, nangka. Pokoknya hampir seluruh sayuran kita kalengkan. Kita ekspor bahkan sampai ke Belanda.

Bagaimana status petani yang mengelola lahan milik SA seluas 20 hektare?

Kombinasi terbaik tetap. Mereka adalah mitra kita. Khusus untuk key persons, seperti manajer dan supervisor, orang SA. Kalau pembudidayanya, yang terbaik kita berdayakan orang sekitar.

Kan tidak gampang membina masyarakat?

Betul.

Dibina-bina… Eh… barang dijual ke orang lain?

Betul itu. Itu juga terjadi pada kita. Sampai sekarang itu masih tetap terjadi. Kita akan menekan hal itu. Kita eliminir dengan cara membina. Namun kalau sudah enggak bisa dibina, terpaksa harus kita putus.

Yang saya tahu, pertama kita kan harus melihat karakter petani. Apakah bisa dipercaya ataukah tidak. Bisa tidak dijadikan mitra. Karena kita menaruh uang pada mereka. Apakah ada proses penilaian seperti demikian?

Kita melakukannya sambil berjalan. Namanya bekerjasama dengan petani, ya enggak bisa kita seleksi kayak karyawan, yang harus misalnya psikotest, dan lain sebagainya. Kita nyisir berdasarkan minat dan kesungguhan. Kalau minat dan bersungguh-sungguh, kita tampung. Nah, kalau dalam perjalanan dia tidak komit, ketahuannya ya di belakang.

Karena evaluasi dalam tiap tahap perjalanan harus dilakukan. Sehingga akan terjadi screening secara alami.

Yang di Bromo, SA punya kelompok-kelompok?

Ya. satu kelompok terdiri dari 20-an petani. Kita, untuk membina mereka, punya tenaga pengawas dan penyuluh sebanyak tujuh orang, yang bertugas memberikan pemecahan masalah. Tapi tidak terkait dengan budidaya. Yang budidaya diberikan di awal. Sewaktu petani belum bisa sama sekali, diberikan teori, dan contoh kongkret. Oh disiramnya begini. Dipetiknya begitu. Yang paling efektif dalam pengembangan cluster, adalah melihat orang lain yang sudah bisa melakukan.

Di tataran mereka kita tidak taruh beberapa orang QC?

Tidak. QC kita sentralkan di sini. Pada saat peneriman jamur. Penyuluh memiliki wilayah umum. Misal, tingkat kelembaban yang pas, kompos, dan hal-hal lain. Dan, masing-masing petani bertanggungjawab terhadap jamurnya sendiri-sendiri. Dia punya datasheet yang merekam suhu, kelembahan, dan hal-hal lain.

Sejak awal petani diharuskan membuat datasheet, atau mulai kapan?

Sejak awal petani harus mencatat semua hal dan mendokumentasikannya. Petani mengontrol dirinya sendiri. Penyuluh melihat, menimpali, membenarkan atau memberikan saran-saran agar hasil panen bisa optimal.

Berapa lama usia jamur?

Media tumbuh jamur dan benihnya, setelah kita kirim ke sana, butuh waktu 35 hari untuk panen. Selama 35 hari itu, petani harus menyiram, membuka pintu, jendela, dan lain sebagainya. Yang terpenting, petani harus mengendalikan suhu, kelembaban, kadar air di media tumbuh, dan kadar oksigen.

Setelah panen, akan panen terus tiap hari. Namun jumlahnya tidak selalu stabil. Kadang sedikit kadang banyak. Kadang jeda. Begitu terus. Maksimal sampai 35 hari. Kalau kita skala industri, enggak sabar dengan hasil yang sedikit. Tiga minggu sudah kita ganti dengan tanaman baru. Kalau petani Bromo, kan eman. Mereka pertahankan hingga 35 hari.

Berarti SA memasok ke petani berupa media tanam dan benih jamur?

Ya. Karena bila tidak dibuat pada skala industri, kualitas kurang bisa dipertanggung jawabkan. Petani fokus di budidaya, hasilnya kita tampung. Kalau misalnya, hasil belum sesuai harapan, kita beri keringanan dalam bentuk menunda pembayaran. Dia kita didik utang. Dia minus. Kita beri lagi media tumbuh dan benih. Kita minta tanam dengan baik agar terbayar juga minusnya.

Jadi, kita buat laporan untuk petani. Petani bisa mengetahui kondisinya sendiri-sendiri.

Setiap petani kita berikan berapa utangnya?

Macam-macam. Tergantung kemampuannya. Ada yang 2 ada pula yang 8 paket. 1 paketnya sekitar Rp 3 juta. Untuk membuat media tumbuh dan benih, butuh modal, mahal. Ini berbeda dengan jamur tiram. Kalau jamur tiram itu merakyat. Siapapun bisa. Ada gergajian kayu diberi benih, selesai sudah. Jamur kancing tidak begitu. Butuh keahlian, bahan, alat khusus untuk membuatnya.

Kalau jumlah petani 200 dan rata-rata petani minta 4 paket, minimal kita nomboki petani Rp. 2,4 milyar (800 X 3 juta). Faktanya kan lebih dari itu, karena model tanaman secara berurutan.

Iya. Tapi kita didik mereka. Kita dampingi mereka agar hasil sesuai harapan. Itu cost production dari mereka. Bukan bantuan. Kalau misalnya, kita katakan ini hibah. Terus kalau enggak berhasil, tidak ada utang, ya… repot kita. Kita didik mereka agar survive. Kalau panen bagus. Ono susuk. Ada kembaliannya. Kalau gagal, ya mereka punya utang Rp 3 juta per paket.

Dan, petani… untuk dididik seperti itu tidak masalah. Rata-rata mereka sudah paham. Maksudnya kalau bertani, ya ada untung ada rugi. Kalau bantuan, kan hanya sekali. Setelah itu, selesai sudah.

Untuk 1 paket, berapa luas gudang yang dibutuhkan petani?

Sekitar 3 X 3 meter. Kan ukuran petani. Mereka kan punyanya segitu. Bahannya juga macam-macam. Ada yang batako, kayu, bata, gedhek.

Kontrol terhadap suhu dan kelembaban udara kan susah?

Betul. Tapi kita kan dalam kondisi darurat. Petani tidak punya apa-apa selain hanya itu kekayaannya. Pertanian lain, gagal. Ditimpa debu vulkanik mati semua. Case by case kita selesaikan. Bayangkan, ukuran ruangnya berbeda. Ketinggian berbeda. Jumlah jendela tidak sama. Ketinggian jendala beragam. Enggak standar.

Itu memang satu hal yang, ketika kita bicara industrialisasi, menjadi enggak masuk. Wegah… Di situlah ketukan sosial kita keluar. Peduli memperhatikan satu per satu dari mereka. Nah, jika mereka bangkit, terus ingin menambah gudang, gudang yang baru ini kita standarkan sesuai industri.

Dalam kondisi tidak standar, berapa rata-rata produksi petani?

Pasti di bawah rata-rata industri. Kalau industri, satu paket menghasilkan 600 kg. Petani hanya 375 kg. Dan, nilai itu memang sudah kita perkirakan. Karena perfomance mereka di bawah industri.

375 kg masih menguntungkan?

Kita beli Rp 12.500 per kg. Bila 375 kg berarti senilai Rp. 4,7 juta. Jadi masih untung Rp 1,7 juta.

Harga 12.500 apa tidak di bawah harga pasar?

CS: Jangan dibandingkan dengan harga end user. Ini harga supplier industri. Saya bisa jamin harga saya yang paling tinggi dibandingkan dengan kompetitor. Gambaran kasarnya begini. Kalau saya mengambil terlalu rendah, pasti petani akan menjual ke perusahaan lain.

Lah, yang bosok itu begini. Neng pasar kan didol 16 ewu. Lah, yang imannya goyang – jumlah mereka enggak banyak — menjual ke sana. Namun, dengan jumlah sebanyak tiga ton, kan enggak mungkin mereka menjual ke pasar tradisional lokal yang kebutuhannya hanya sedikit.

Untuk mereka yang agak nakal, kita bina supaya kembali ke jalan benar. Bila tidak bisa, ya terpaksa kita putus.

Kalau ditotal, dari yang kita training sebanyak 250 petani, yang terus berlanjut sampai sekarang sekitar 180-an petani. Sisanya 70-an petani tersortir secara alami. Bagi saya, itu tidak mengapa. Yang penting, akhirnya tercipta tim yang solid.

Pemasarannya semua untuk pasar ekspor?

Tidak semua, 60% untuk pasar ekspor (Amerika, Jepang, Eropa, Timur Tengah). Sedangkan 40% untuk domestik. Jamur kita juga masuk Indofood untuk campuran mie.

Saya pernah interview dengan orang seperti Bapak. Namanya Mbak Ida. Dia membina agar produksi UKM sesuai harapan, pemasaran dia yang handle. Awalnya, lancar. Di tengah jalan ditipu orang terdekatnya. Beruntung bisa bangkit lagi hingga sekarang. Apakah Bapak juga merasakan hal serupa

Semua memang tidak selalu berjalan mulus. Di tahun awal, saya mengalami hal serupa. Orang yang saya percaya mengkoordinir petani, menelikung. Menghabiskan uang, yang nilainya amat besar. Maaf saya tidak bisa sebutkan nilainya. Saya memang sempat kaget. Di hadapan komisaris, untungnya saya mampu memberi keyakinan soal kejadian ini. Bahwa kejeblos itu memang benar. Tapi bukan merupakan akhir dari segala-galanya. Kita lantas meletakkan kerugian ini sebagai bagian dari investasi. Dan, alhamdulillah nilai yang ditelikung orang itu, sekarang sudah hampir balik.

Pelajaran terbesarnya adalah, kita harus totalitas dalam mendampingi petani. Termasuk dalam keuangan petani. Kita monitor dan kontrol dari hari ke hari. Bagian keuangan, manajer dan supervisor saya bisa mengontrol keuangan petani. Supervisor teknis dan budidaya juga tahu. Sistem yang mengontrol.

Makanya ketika masuk ke peternakan dua tahun, kita langsung handle semua. Handle total, agar kasus serupa tidak terjadi. Kita bermitra dengan peternak untuk mengembangkan sapi perah. Sekarang sudah produksi susu 200 liter per hari. Lokasinya disekitar lahan kita yang 20 hektare itu.

Apa harapan ke depan?

Ke depan kita berharap memberdayakan kelompok. Dalam hal punishment, pembinaan budidaya, dan hal-hal lain menjadi tanggungjawab kelompok. Agar kelompok lebih mandiri. Kalau enggak, capek terus-terusan terjun. Kalau makin lama jumlah kelompok bertambah, berapa PPL yang harus saya rekrut lagi. Dan, kita berharap juga jamur menjadi ikon baru petani Bromo di masa mendatang.

Ada juga kelompok tani dari Nongkojajar Pasuruan yang ingin bermitra dengan kita. Tapi kita belum bisa jajaki. Kita masih perkuat dulu yang di sini. Kita buat standar. Sedangkan untuk sapi perah, bila sudah tidak produktif, kita potong. Dagingnya untuk pasokan produk Corned kita. (Suhariyanto)

The post Solusi Jitu dari Cipto Santoso bagi Petani di Lereng Gunung Bromo appeared first on Majalah SWA Online.

Chef Degan: Membangun Café Setelah Tiga Dekade Berkarier

$
0
0

Setelah malang-melintang sebagai chef di berbagai hotel bintang lima hingga lebih dari 30 tahun, Chef Degan akhirnya memutuskan untuk terjun langsung membangun sebuah kafe di Bali. Apa saja kiat Chef Degan dalam membangun bisnis kulinernya? Simak penuturan Juri Indonesia Master Chef session 2 dan 3 ini kepada wartawan SWA, Silawati.

Bergaya rumah joglo terbuka berlantai terakota dengan interior yang sangat tradisional Jawa lengkap dengan lampu gantung dan tirai putih menjuntai, terasa hangat menyambut siapa saja yang datang ke Cafe Degan di kawasan Petitenget Kuta Bali. Senyum ramah dan jabat erat Chef Degan sang pemilik menambah cair suasana. Didampingi Nike Kurnia, istri tercintanya, Chef Degan menuturkan keputusannya pindah dari zona aman dan memilih mendirikan Cafe Degan.

Diakuinya setelah lebih dari 30 tahun berkiprah di dunia kuliner, Chef Degan sudah paham betul dengan seluk beluk dunia memasak. Begitu menyelesaikan pendidikan kulinernya di Jerman, Chef Degan mengawali kariernya di Hotel Hilton Jakarta tahun 1988 sebelum akhirnya berpindah-pindah di hotel berbintang di hampir semua benua. Hingga akhirnya saat masih menjabat sebagai executive chef di Banyan Tree Hotel Bangkok, tercetus ide untuk buka resto sendiri. “Sempat ragu, tapi dorongan istri membuat saya yakin”, tutur Degan.  “Mau kapan lagi?”, cuma itu pertanyaan yang Nike ajukan pada sang suami.

Chef degan (utama)

“Bukan perkara mudah ternyata mengurus semuanya sendiri,” ujar Nike menggambarkan awal mengoperasikan Cafe Degan  di tahun 2010 itu.

“Bulan pertama saya merangkap jadi Satpam,”,tambah Degan tersenyum lebar.  Tiga bulan pertama diakui Degan dan Nike merupakan masa-masa sulit mereka sebelum akhirnya menemukan pola kerja dan tenaga kerja yang tepat.

Bagi chef kelahiran 1 September 1967 ini menjaga keaslian cita rasa merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Karena itu Degan menetapkan mulai dari bahan baku harus sesuai standar yang sudah ditetapkan, walau untuk itu dia harus rela berepot-repot membuat sendiri mulai dari bumbu-bumbu, sambal,  minyak goreng hingga telur asin.

Chef Degan

Degan tak segan akan meniadakan suatu menu bila bahan baku yang tersedia tidak memenuhi syarat. Degan mencontohkan, sering meniadakan menu yang berbahan baku ikan segar saat kesulitan pasokan ikan, atau terpaksa juga meniadakan salah satu salad yang berbahan baku pamelo (Jeruk Bali) bila sedang tidak musim.

Ketepatan waktu juga sangat dipegang teguh. Degan menekankan pada 5 orang asisten yang sudah dipercayanya untuk selalu mematuhi lama waktu memasak. Masakan Indonesia yang masuk kategori slow cook menurut Degan akan menghasilkan rasa yang maksimal bila dimasak sesuai waktu, tidak kurang atau lebih.”Mamang enak tapi akan lebih enak bila waktunya tepat,” hal yang selalu ditekankan Degan.

Memosisikan kekuatan pada Authentic Indonesian & Thai Cuisine dan pastry shop, Café Degan mengalami pergeseran pangsa pasar. Awal beroperasi Café Degan  juga menyediakan western food, tapi dalam perjalanan Degan memutuskan hanya memantapkan diri pada olahan menu Indonesia dan Thailand saja, sesuai persentase tamu domestik yang mencapai 70%. Sedangkan wisatawan asing yang berkunjung didominasi wisatawan Australia, Belanda, Singapura, dan Malaysia.

Berkapasitas hingga 100 tempat duduk, Degan mengakui sudah banyak mendapat permintaan untuk membuka cabang di luar Bali. Namun kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja yang bisa diandalkan menyebabkan tawaran itu tidak bisa disanggupi. Profesi ini membutuhkan kerja keras dan disiplin. Sayangnya, kedua faktor itu menurut Degan dan Nike sangat sulit dipenuhi. Tak jarang baru satu minggu bekerja sudah mengajukan pengunduran diri dengan alasan pekerjaan yang terlalu berat.

Bagi Degan, memasak itu harus dari hati, bukan sekadar rutinitas dan momen yang paling berharga itu terjadi saat tamu memberikan pujian pada makanan yang dibuat. (Silawati)

The post Chef Degan: Membangun Café Setelah Tiga Dekade Berkarier appeared first on Majalah SWA Online.

Rumah Makan Garuda Terbang Hingga ke Singapura

$
0
0

Rumah Makan Garuda yang berdiri sejak tahun 1976 diawali dengan niat pendirinya, alm. H. Bakhtar, untuk banting setir dari pedagang kain menjadi juragan bisnis kuliner. Kini, di bawah pengelolaan generasi kedua RM Garuda memiliki 19 outlet, 16 outlet di kota-kota besar Indonesia dan tiga outlet di Singapura. Bagaimana kisah sukses pengembangan RM Garuda? Zulhelfi, SE, yang mengambil operasional RM Garuda sejak sang pendiri meninggal pada 1995 menuturkannya kepada Julfini:

GarudaZulhelfi

Kapan Garuda didirikan, siapa saja pendirinya, kenapa tertarik menggeluti bisnis resto, apa latar belakang pendidikan-hobi-profesi dari sang pendiri?

RM dan Buffet Garuda didirikan sejak tahun 1976 oleh alm. H. Bakhtar. Cikal bakal pendirian berawal dari niat Bakhtar untuk banting setir dari kegiatan sehari-harinya yang berjualan kain di Pasar Perniagaan. Menyadari kondisi perdagangan kain yang semakin menurun, maka Bakhtar memberanikan diri untuk mempelajari bentuk bisnis yang lain. Sebelum menjalankan bisnis rumah makan, pendiri melakukan perjalanan ke Palembang untuk berguru kepada adiknya yang telah menjalankan bisnis rumah makan. Sekembalinya dari sana, Bakhtar mulai menjalankan bisnis rumah makan pertamanya di Jalan Pemuda. Saat itu, bangunan yang digunakan masih bangunan sewa dan sang istri, Yulinar juga ikut membantu di dapur untuk memberi pengarahan menu kepada juru masak. Konsentrasi ke masakan Minang karena latar belakang Bakhtar yang berasal dari Padang. Untuk menambah permodalan, di awal usahanya Bakhtar melakukan join dengan adiknya. Namun di tengah jalan, terjadi pemisahan di tahun 1990 dan berdiri sendiri hingga saat itu. Sejak Bakhtar meninggal di tahun 1995, saya mengambil alih seluruh operasional RM Garuda.

Bagaimana perjalanan resto sejak didirikan hingga sekarang?

Sama seperti usaha lainnya, RM Garuda didirikan juga dengan penuh perjuangan. Mulai dari sepinya pengunjung di tahap awal hingga sulitnya keuangan untuk mendanai usaha menyebabkan harta benda Bakhtar harus disita bank. Namun dengan usaha keras, Bakhtar dapat bangkit dan secara perlahan mulai mendirikan cabang di dalam kota hingga ke luar kota. Kisah jatuh bangun juga terjadi di tahun 2008, ketika salah satu cabang RM Garuda di Jalan Gajah Mada terbakar, dan setelah melalui proses renovasi akhirnya dibuka kembali tahun 2009.

RM Garuda

Tonggak-tonggak perkembangan, kapan mulai melesat dan terus berekspansi?

Awal ekspansi dilakukan di tahun 1978, RM Garuda memiliki cabang ke luar kota yaitu kota Tebing Tinggi (saat ini telah ditutup). Saat itu, pasar mulai terbentuk dan permintaan pelanggan mulai tinggi. Setelah melakukan analisis pasar, Bahktar mulai melakukan pelebaran sayap terhadap usahanya. Setahun kemudian, 1979 dibuka lagi cabang kedua di Jalan Gatot Subroto (telah ditutup). Saat ini RM Garuda telah memiliki 16 cabang RM Garuda di Indonesia di antaranya 8 cabang di Medan, 1 cabang di Lampung, 5 cabang di Jakarta, dan 2 cabang anak usaha yang diberi nama “RM Berjaya”. Sementara di luar negeri, Rumah Makan Garuda memiliki 3 cabang di Singapura.

Sejak tahun 1988, saya mulai berperan dalam sisi manajemen. Dirinya mulai masuk ke dalam divisi produksi (dapur) untuk mengurus masalah pembelian, pemenuhan bahan baku, dan biaya. Bahkan untuk memperdalam pengetahuan dan pengalamannya,  saya ditempatkan ke Kota Lampung. Di sana Bakhtar membuka cabang RM Garuda. Saat itu, Lampung dalam masa pembangunan yang cukup pesat namun kekurangan fasilitas hiburan dan sarana rumah makan. Di Lampung, saya menghabiskan masa empat tahun untuk mengembangkan usaha rumah makan.

Bagaimana strategi berekspansinya?

Dengan melakukan riset pasar terlebih dahulu. Mempelajari karakter masyarakat sekitar, kemampuan konsumsi, hingga keramaian lalu lintas menjadi bahan pertimbangan. Untuk investasi ke bangunan, di awal perjalanan usahanya Bakhtar melakukan penyewaan gedung. Setelah kondisi cukup stabil, perlahan mulai berani berinvestasi ke aset bangunan. Sedangkan saya sendiri, sebelum melakukan ekspansi dirinya melakukan riset pasar yang cukup mendalam. Dirinya rela melakukan pengamatan langsung ke lapangan selama berhari-hari untuk mempelajari karakter pasar dan wilayah yang disasar. Kegiatan ekspansi yang mulai melejit saat melakukan pembukaan cabang di Jakarta di tahun 2003. Setiap tahun manajemen menyediakan dana untuk pengembangan outlet dan promosi untuk pengembangan usaha. Rata-rata target untuk peningkatan omset dipatok 110-130%.

RM Garuda-Menu

Bagaimana memenuhi kebutuhan chef?

Kebutuhan juru masak disesuaikan dengan jumlah dan permintaan pengunjung. Juru masak yang dipergunakan bukanlah lulusan akademi masak, tetapi lebih dicari yang berpengalaman masak. Untuk menjadi juru masak, pihak manajemen Garuda sangat selektif memilih. Fase yang dijalani harus berawal dari asisten juru masak. Setelah dinilai cukup pengalaman, akan diangkat sebagai juru masak. Banyaknya cabang, membuat Zulhelfi harus membuat pusat produksi makanan terkonsentrasi. Di Medan, Rumah Makan Garuda memiliki empat rumah produksi. Setiap rumah produksi memiliki tiga orang untuk memastikan rasa dan kualitas makanan sebelum dijual di depan rak kaca. Sejak jam 6.00 pagi, tim telah siap untuk mengecek dan memastikan menu harian. Setelah dicek, makanan disebar dengan armada kendaraan pickup box ke seluruh cabang yang tidak memiliki rumah produksi.

Bagaimana memenuhi kebutuhan bahan baku (supply chain)? Berapa kebutuhan bahan baku tiap harinya? Apa saja bahan baku utamanya? Bagaimana memenuhi tenaga manajemen dan pramusaji setelah semakin besar?  Berapa jumlah tenaga kerja saat ini?

Untuk kebutuhan supply chain, saat ini tim pembelian melakukan pembelian langsung ke pasar tradisional. Hal ini mempertimbangkan harga di pasar sering naik turun dan pemilihan sayur dapat dilakukan lebih detil, sehingga untuk membeli sayur tidak melalui supplier. Sementara untuk tiga bahan baku utama seperti beras, daging, dan ayam dibeli dari supplier. Rata-rata per hari, tim membeli 15 jenis sayuran untuk memasak 60 jenis masakan di seluruh RM Garuda. Sehari proses memasak dilakukan 3-4 kali untuk menjaga kualitas makanan tetap segar.

Untuk memenuhi tenaga manajemen dan pramusaji yang semakin besar, dibentuk divisi di bidang usahanya. Divisi produksi yang terbagi atas dua kelas, yang masing-masing mengatur rutinitas makanan ringan/minuman, dan makanan berat untuk konsumen. Divisi pelayanan yang mengatur pramusaji dan pelayanan kepada konsumen. Divisi pemasaran yang mengatur penjualan makanan langsung di rumah makan dan tidak langsung (melalui promosi paket ke instansi).

Bagaimana kegiatan inovasi (R & D) untuk menghasilkan menu, layanan, pemasaran yang baru?  Bagaimana R & D menghasilkan jenis-jenis resto baru? Siapa yang menjadi motornya? Bagaimana proses penemuan ide-ide dan menggodoknya?

Untuk melakukan inovasi, saya selalu melakukan setiap saat dan hampir setiap tahun ada sesuatu yang baru. Baik dari sisi menu, interior, bahkan strategi pemasaran. Dirinya mengatakan bahwa ide baru selalu muncul saat dirinya berada di luar kantor. Kegemaran akan berkunjung ke restoran lain untuk mengamati menjadi salah satu kunci. Contoh: dirinya melakukan terobosan untuk melakukan servis antar makanan (delivery) dengan menggunakan sepeda motor. Agar pelayanan berjalan cepat dan bersih, makanan yang diantar dibawa dalam sajian kotak. Menurut penuturannya, saat pertama kali menjual makanan dengan kotakan, rumah makan Garuda menjadi pionirnya termasuk juga pengantaran tim dengan sepeda motor ke tujuan, bahkan ada juga beberapa inovasi menu yang pernah dilakukan.

Bagaimana melakukan tranformasi pengelolaan (mungkin dari manajemen “warungan” menjadi manajemen moderen)?

Transformasi dilakukan dengan perlahan sambil menerapkan sistem manajemen. Saya lulusan Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen dari Universitas Nomensen, sangat konsentrasi terhadap manajemen moderen. Setiap ilmu yang dipelajari diterapkan sambil melihat kondisi pasar. Dengan menjalankan sistem manajemen kekeluargaan, dirinya mengembangkan tiga divisi yang masing-masing saling berhubungan. Divisi produksi, divisi pelayanan, dan divisi pemasaran. Setiap cabang memiliki tiga divisi dengan ketua dan anggota yang dikomandani.

Apa saja kunci sukses mengelola restonya (tolong dijelaskan yang benar-benar menjadi kunci sukses apa)?  Kapan kunci sukses ini mulai ditemukan?

Kunci suksesnya adalah pelanggan pulang dengan puas. Kunci ini telah diterapkan sejak awal berdiri. Sehingga tidak ada keraguan untuk selalu mempertahankan kualitas masakan sehingga harus rela masak berkali-kali dalam sehari.

Bagaimana kinerja resto saat ini: jumlah cabang, jumlah pengunjung per hari dan rata-rata pengunjung menghabiskan berapa rupiah sekali makan?

Jumlah pengunjung mencapai 200 orang per hari, dengan jenis penjualan dari sebungkus nasi hingga masakan jamu di atas meja. Jumlah cabang di Indonesia mencapai 16 outlet dan 3 outlet di Singapura. (Julfini)

The post Rumah Makan Garuda Terbang Hingga ke Singapura appeared first on Majalah SWA Online.

Viewing all 8373 articles
Browse latest View live